Berita

Pakar Hukum Tata Negara UMY Soroti Pembangkangan Konstitusi Oleh DPR RI

Indonesia sedang dihebohkan dengan adanya perubahan UU Pilkada yang diusulkan oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perubahan UU Pilkada tersebut dilihat tidak sejalan dengan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 60/PUU-XXII/2024/ dan lebih memilih untuk mengadopsi putusan MA (Mahkamah Agung). Hal ini pun menuai banyak kontra, sebab sikap DPR yang tidak mengindahkan putusan MK dinilai sebagai salah satu bentuk pembangkangan konstitusi, oleh pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Ada dua poin perubahan RUU yang disepakati oleh Baleg DPR. Pertama, mengenai batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur. Dimana batas usia untuk calon gubernur – calon wakil gubernur menjadi 30 tahun terhitung sejak pelantikan, sedangkan calon walikota – calon wakil walikota 25 tahun terhitung saat pelantikan. Kedua, berkaitan dengan threshold kepala daerah (ambang batas pencalonan kepala daerah). Threshold kepala daerah jalur partai hanya untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD, sedangkan partai yang memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD.

Pakar Hukum Tata Negara UMY Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM turut memberikan pandangan mengenai sikap DPR. Faisal mengatakan bahwa DPR seharusnya menitikberatkan segala keputusan sesuai dengan kepentingan dan apresiasi masyarakat. Dengan demikian, ketika DPR akan membuat undang-undang partisipasi publik menjadi hal yang fundamental.

“Apabila DPR memiliki kepekaan seharusnya ia akan meletakkan kepentingan masyarakat di atas segala-galanya dan mendengarkan hati nurani rakyatnya, karena sesuai dengan namanya bahwa mereka adalah wakil rakyat. Konsekuensinya adalah DPR pasti akan tunduk dan patuh untuk melaksanakan keputusan MK itu. Akan tetapi rasanya saat ini wakil rakyat kita sudah berubah menjadi wakil penguasa,” ujar Faisal saat ditemui pada Kamis (22/08).

Faisal mengingatkan bahwa keputusan MK tidak dapat dibenturkan dengan keputusan MA, karena MK di Indonesia berlaku sebagai The Guardian of Constitution. Artinya, segala keputusan MK bersifat final yang memiliki kekuatan hukum tetap, mengikat, dan berlaku seketika.

Dosen Fakultas Hukum ini menekankan biarpun kerabat terdekat ikut berkontestasi dalam pesta demokrasi khususnya Pilkada, Indonesia tetaplah menjadi negara hukum sehingga mematuhi aturan tetap menjadi kewajiban. Apabila aturan yang sudah dibuat secara terus menerus dilanggar, maka Indonesia bukan lagi negara hukum tetapi berubah julukan menjadi negara kekuasaan. Hal tersebut akan berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara.

“Jika kecacatan tata negara hukum ini terus berlanjut dan dibiarkan maka dapat dipastikan akan terjadi pembangkangan terhadap konstitusi. Parahnya lagi dapat menimbulkan pembangkangan sipil seperti yang terjadi pada tahun 1998,” jelasnya.

Pada dasarnya, Joko Widodo memiliki kewenangan untuk dapat menggunakan hak prerogatifnya, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perpu) untuk menghentikan kekacauan hukum di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan Faisal pada saat ditemui.

“Jika presiden kita meletakkan kepentingan bangsa dan negara, sebagai langkah darurat Jokowi bisa mengeluarkan Perpu. Perpu sendiri memiliki kekuatan yang sama dengan UUD. Akan tetapi, perpu ini jangan sampai kontradiksi dengan putusan MK. Saat ini yang menjadi persoalan adalah apakah presiden kita memikirkan kepentingan bangsa? Saya rasa Perpu tidak dikeluarkan karena beliau tersandera dengan kepentingan politiknya sendiri,” pungkas Faisal.

Faisal juga menyampaikan jika DPR benar-benar mengesahkan draft RUU ini, maka akan memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan baik itu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dampak politik dapat menimbulkan legitimasi terhadap DPR, sehingga muncul ketidakpercayaan publik terhadap wakil rakyat akan eskalatif (peningkatan yang sangat masif). Apalagi DPR secara jelas mempertontonkan pelanggaran konstitusi yang sangat berat.

Konsultan hukum UMY ini pun berharap ke depannya pemerintah perlu mengatur adanya skema sanksi yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan oleh MK. Sanksi tersebut dapat diatur dalam bentuk ketatanegaraan, sehingga ketika ada pihak-pihak yang tidak menjalankan putusan dengan konsisten maka bisa terkena sanksi. Dengan demikian, nantinya akan ada upaya paksa supaya kecacatan hukum di Indonesia tidak terulang kembali. (NF)