Berita

Pakar Hukum UMY Tanggapi Kasus Lili Pintauli: “Mundur atau diberhentikan Tidak Hormat!”

Pelanggaran Kode Etik oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lili Pintauli Siregar menjadi sorotan pembahasan publik. Hal ini disebabkan oleh putusan hukuman dari Dewan Pengawas KPK yang hanya berikan hukuman pemotongan gaji pokok sebanyak 40% serta tidak sebanding pada kategori pelanggaran berat yang ada dalam pertimbangan hukumnya. Menyikapi hal tersebut, Dosen Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Iwan Satriawan,S.H.,MCL.,Ph.D memberikan tanggapan terkait isu pelanggaran kode etik oleh Wakil Ketua KPK saat ditemui pada hari Senin (6/9) di Ruang Dekan Fakultas Hukum UMY.

Menurutnya, memang ada kontradiksi dengan putusan dari Dewan Pengawas KPK dengan pertimbangannya yang mengatakan hal tersebut merupakan pelanggaran berat, namun hukuman yang diberikan kepada Lili Pintauli ini bukan hukuman yang berat, dan hal tersebut yang membuat publik syok dan kecewa. “Jika apa yang dilakukan oleh Lili Pintauli merupakan pelanggaran berat, orang atau publik membayangkan hukumannya juga berat. Namun terkait hukumannya pemotongan 40% dari gaji pokok selama 12 bulan dan dia masih bisa menjalankan tugas dan fungsi-fungsi, hal tersebut bukan bagian dari hukuman atas pelanggaran yang berat,” jelas Dekan Fakultas Hukum UMY.

Mundur atau diberhentikan Tidak Hormat!

Terdapat dua pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli S., diantaranya melanggar kode etik karena berhubungan dengan orang-orang yang sedang terkena perkara melakukan korupsi, yang kedua juga menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang lain untuk membantu saudaranya. Pada kasus yang menimpa Lili Pintauli Siregar hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan pelanggaran berat yang diperbuatnya. Oleh karena itu, Iwan termasuk setuju dengan banyak LSM dan para pengawas KPK yang berpendapat bahwa hukuman yang diberikan dari dewan pengawas kepada Lili Pintauli Siregar tidak sesuai antara pertimbangan hukumnya dengan hukumannya, seharusnya diberi hukuman yang berat agar memberikan efek jera.

“Menurut saya, karena KPK bukan lembaga sembarangan oleh karena itu hukumannya harusnya dipecat dari posisi komisioner. Untuk posisi lembaga penting seperti itu, menurut saya hal tersebut jangan diberi toleransi terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan,” papar pakar hukum tata negara UMY.

Dosen yang mengajar tentang HAM dan Demokrasi ini juga menegaskan bahwa yang dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar bukan lagi satu pelanggaran. Oleh karena itu KPK sebagai lembaga yang sangat penting harus dijaga marwahnya dengan baik, Lili Pintauli sebaiknya tidak lagi ditempatkan menjadi komisioner KPK. “Jika Lili tetap bertahan di lembaga KPK dengan diberikan hukuman potongan gaji, masyarakat akan semakin tidak percaya dengan KPK. Sekarang saja masyarakat tidak percaya dengan KPK dengan kasus sebelumnya yang melibatkan Ketua KPK, dengan adanya revisi UU KPK. Itu saja sudah membuat masyarakat tidak percaya lagi dengan KPK,” tambahnya.

Polemik lainnya dari kasus Lili Pintauli Siregar ini bahkan banyak komisioner yang mundur di lembaga KPK, karena merasa sudah tidak punya ‘pride’ lagi dengan lembaga tersebut. “Saya khawatir ke depannya banyak orang mengampanyekan untuk bubarkan KPK. Cara untuk mencegah terjadinya seperti kasus sebelumnya di KPK, dengan cara memperbaikinya, salah satunya jika ada yang melakukan pelanggaran berat, diberhentikan dengan tidak hormat,” ujarnya.

Efek dari Revisi UU KPK dan Munculnya Dewan Pengawas

Bagi pengajar Hukum Konstitusi ini kasus pelanggaran kode etik pada komisioner KPK merupakan efek dari dua hal, yaitu pertama, posisi kedudukan KPK secara kelembagaan sudah ‘dirusak’ independensinya dengan adanya dewan pengawas KPK yang tidak independen, serta revisi UU KPK yang mereduksi independensi KPK di tingkat penyelidikan dan penyidikan. Syukurnya, Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan beberapa pasal terkait.

“Bagaimana mungkin lembaga yang harusnya menjadi lembaga independen dan yang menjadi objek dari pengawasan KPK adalah eksekutif, namun dewan pengawas KPK berasal dari orang-orang yang diangkat oleh eksekutif. Itu menjadi kontradiksi yang nyata, di satu sisi komisioner KPK mengatakan bahwa KPK itu independen, selain itu juga anehnya kemudian ada wewenang di dalam pasal-pasal pada revisi UU KPK itu kemudian mereduksi keindependenannya. Sayangnya, MK tidak membatalkan hal tersebut,” jelasnya.

Menurutnya, secara kelembagaan yang terjadi memang independensi KPK sudah mengalami reduksi yang sangat serius, termasuk memindahkan posisi pegawai KPK menjadi ASN kemudian ada seleksi Tes Wawasan Kebangsaan dan banyak pegawai KPK tersebut tidak diloloskan pada tes TWK padahal pegawai tersebut merupakan penyidik-penyidik yang handal di KPK selama ini.

“Jadi terlalu kelihatan jika lembaga KPK itu sedang dipolitisasi oleh elit politik baik yang ada di eksekutif maupun yang ada di legislatif. Kalau seandainya Dewan Pengawas ingin betul-betul menjaga marwah KPK seharusnya Dewan Pengawas itu memberikan hukuman yang lebih keras, atau ada sikap yang lebih bijak dari Lili Pintauli untuk mundur dari KPK. Tradisi mundur itu terjadi atau dipraktikkan oleh negara-negara maju, seperti pada kasus di Negara Jepang dan Korea Selatan bahwa jika ada pejabat negara yang melakukan pelanggaran seperti ini secara gentlemen untuk mengundurkan diri untuk kebaikannya dia dan itu merupakan sikap bertanggungjawab seorang pejabat negara atas kesalahan yang ia lakukan. Di samping itu, perlu ada tradisi pertanggungjawaban politik politisi yang mengangkat mereka untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik karena mereka telah salah memilih orang,” tutupnya. (Sofia)