Baru-baru ini publik dihebohkan dengan penyambutan meriah yang dilakukan untuk merayakan kebebasan Saipul Jamil, seorang selebriti yang tersandung kasus pelecehan seksual terhadap anak dan juga kasus suap kepada panitera. Penyambutan ini dilakukan pada Kamis (02/09) lalu saat ia resmi keluar dari Lapas Cipinang dengan pengalungan bunga serta arak-arakan yang dilakukan dengan mobil sport mewah. Tidak berhenti di situ, setelah penyambutan meriah tersebut, Saipul juga mendapat banyak undangan untuk mengisi berbagai acara di televisi.
Hal ini tentu saja memunculkan polemik serta mendapatkan banyak kritik dari berbagai pihak karena dianggap memberikan glorifikasi kepada pelaku pelecehan seksual yang disambut bak pahlawan. Glorifikasi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan sebuah proses, cara, perbuatan meluhurkan maupun memuliakan.
Menanggapi hal ini, Dr. Filosa Gita Sukmono, S.Ikom., M.A., Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), berpendapat bahwa media telah melanggar salah satu fungsi utamanya yakni to educate. “Dengan adanya glorifikasi dan mencoba menampilkan sosok Saipul Jamil sebagai orang yang penuh penderitaan, media sebenarnya telah kehilangan identitasnya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Media jelas salah,” ungkapnya saat ditemui oleh BHP, Selasa (07/09).
Namun di sisi lain, Filosa berpendapat bahwa media juga bisa dilihat dari fungsi lainnya yakni to entertain dan juga sebagai sebuah entitas bisnis. Menurutnya, media saat ini berada dalam rezim rating. “Media sering kali mengangkat hal-hal yang seharusnya tidak ditampilkan, hal ini bisa saja terjadi karena media memiliki logika bahwa hal-hal seperti ini dapat menggaet rating yang tinggi dan merupakan ladang bisnis yang besar. Dalam kasus ini, media hanya melihat hal tersebut tanpa berpikir panjang akan dampak dan respon yang hadir dari masyarakat,” imbuh pakar kajian budaya dan media UMY ini lagi.
Filosa juga menambahkan bahwa sebenarnya media tidak bisa hanya dilihat dari sisi penghakiman karena apa yang dihadirkan oleh media kerap kali merupakan sebuah ‘permintaan’, meskipun seharusnya media menjaga tatanan yang ada di masyarakat. Berdasarkan teori Penerimaan Penonton dalam Ilmu Komunikasi, penonton terbagi menjadi tiga yakni Hegemonic dengan penerimaan penuh dan apa adanya terhadap apa yang diberikan media, Negotiation Reading dengan analisa dan pertanyaan terhadap apa yang hadir di media, dan Oppositional dengan kritikan terhadap apa yang seharusnya dikeluarkan media.
Jika melihat keluar, di negara-negara seperti Korea Selatan, tokoh publik yang dianggap problematik dan menuai kontroversi akan diberikan hukuman sosial berupa cancel culture dimana mereka ada ditolak saat ingin kembali hadir di hadapan publik. Menurut Filosa, untuk menerapkan hal ini di Indonesia, harus kembali melihat kepada regulasi dan sistem yang berlaku. Sayangnya, regulasi untuk melakukan cancel culture ini tidak ada di Indonesia. “Hal ini bisa saja diterapkan di Indonesia jika ada regulasi yang mengatur. Bisa menjadi saran untuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pihak-pihak lain yang berwenang agar dapat membuat regulasi terkait agar para publik figur yang bermasalah ini tidak dapat kembali hadir ke publik,” ungkapnya.
Mirisnya, media baru meminta maaf ketika sudah banyak dihujani banyak teguran dan kritik. Hal ini menjadi evaluasi bagi media agar bisa menghadirkan konten-konten yang sesuai dengan fungsi media saja yakni to inform, to educate, dan to entertain. Di akhir wawancara, Filosa mengungkapkan bahwa langkah masyarakat dengan melakukan kritik dan membuat petisi untuk memboikot Saipul Jamil sudah tepat dilakukan. “Apa yang dilakukan masyarakat sudah tepat dan memberikan efek hingga akhirnya media meminta maaf, bahkan membatalkan undangan Saipul pada berbagai acara TV,” pungkasnya. (ays)