Proses perpolitikan di Indonesia, menjadi semakin marak dan selalu menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Hal ini justru dapat dikaitkan bukan dengan alasan positif, melainkan dengan alasan negatif. Alasan tersebut adalah fenomena korupsi yang terjadi seiring membengkaknya biaya yang harus digunakan dalam proses politik. Kedua fenomena ini berjalan dengan berkelanjutan selayaknya lingkaran setan yang satu sama lain saling berkaitan.
Demikian disampaikan Ari Sujito, Koordinator Presidium Pergerakan Indonesia dalam Diskusi Publik Jogja Editors Forum bertemakan “Korupsi dan Politik Biaya Tinggi” yang diadakan Sabtu (25/6) malam, di halaman Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogykarta (UMY). Diskusi tersebut dihadiri sekitar 2o Pimpinan redaksi media cetak dan elektronik di Yogyakarta, serta mahasiswa dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UMY.
Menurut Ari, Partai politik saat ini terjebak dalam sistem yang menuntut mereka untuk mencari sumber dana yang besar karena dalam proses pemilihan umum dibuthkan biaya tinggi. Pemilu dari ruang lingkup luas hingga yang lebih sempit sekalipun saat ini menelan biaya milyaran. Hal ini mnegakibatkan secara pragmatis partai politk berupaya membiayai operasi politik, sehingga tidak sempat berbicara mengenai idoelogi yang lebih luas dan berujung pada korupsi.
Ari juga melihat bahwa terjadi gejala di masyarakat yang juga ikut berpandangan pragmatis dalam proses politik. Masyarakat saat ini cenderung hanya menunggu setiap pemilihan umum untuk memperoleh uang. Namun, hal ini memang terjadi karena dalam proses politik, masyarakat memnag dikondisikan untuk juga ikut menjadi pragmatis. “Tugas bersama kita untuk tidak membiarkan hal ini dianggap sebagai gejala yang biasa. Karena tingkat toleransi yang demikian besar akan membuat korupsi menjadi moralitas baru.” tegasnya.
Pembangunan optimisme dilihat Ari harus dilakukan karena pada dasranya terlalu mahal jika biaya politk yang demikian mahal sekarang ini hanya dibayar dengan pesimisme untuk keluar dari fenomena ini. Partai politk hendaknya bertekad unutk melakukan reformasi dengan mengubah fenomena politk pencitraan menjadi politk ideologi. Pemilih dijadikan subjek yang lebih jelas sehingga terjadi kontrak politik yang lebih konkrit. Demikian juga peran media massa sebagai control yang harus dipertahankan.
Ari menjelaskan juga bagaimana menurutnya beberapa partai politik pada dasaranya memiliki kemauan untuk keluar dari bayang-bayang korupsi, tapi rata-rata mereka tidak mampu melakukan itu dan justru ikut terjebak dalam fenomena korupsi dan politik biaya tinggi ini. “Meskipun mungkin tidak akan begitu besar dampaknya pada tahun 2014, tapi memang harus ditanamkan dari sekarang. Bahwa Partai bersih itu bisa, partai tidak korup itu bisa”, jelasnya.
Demokrasi di Indonesia saat ini menurut Ari memang rapuh. Hal ini disebabkan oleh tidak berpadunya antar pihak ynag sebenarnya memiliki kepentingan. Korupsi dan politik biaya itnggai memang memiliki korelasi yang sangat erat. “Jika kita bisa memotong siklus proses rekrutmen politk yang buruk dan politk pencitraan yang terlalu mewah untuk selanjutnya digantikan politik ideology, maka biaya politik akan menjadi murah namun berharga. Berharga karena memiliki ideologi itu sendiri.”
Sementara menurut Dr Ulung Pribadi, Direktur Magister Administrasi Publik (MAP) UMY, terjadinya fenomena korupsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah struktur organisasi pemerintah itu sendiri. Departemen, Dinas, ataupun partai politk di masyarakat selama ini cenderung dibentuk bukan untuk mewadahi kebutuhan dan kepentingan masyarakat melainkan jsutru untuk memenuhi keperntingan dan kebutuhan para elit itu sendiri. Hal ini juga terjadi dalam proses formulias kebijakan politik yang seklai lagi justru besifat elitis.
Faktor lain menurut Ulung adalah bagaimana implementasi kebijakan politik yang hanya dilaksanakan oleh instansi publik dan keterlibatan swasta yang hanya melalui outsourcing, bukan oleh stakeholder secara keseluruhan. Demikian pula yang tejadi dalam system pertanggungjawaban kebijakannya. Selama ini pertanggungjawaban lebih bersifat hirearkis dimana hanya dipertanggungjawabkan ke atasan, bukan ke stakeholder secara luas. “Colaborative government, pengelolaan kebijakan public, pertanggungjawaban dan sebagainya seharunya tidak hanya menempatkan pemerintah sebagai actor utama, melaikan juga masyarakat”, jelasnya