Sebagai institusi pendidikan yang hidup di tengah masyarakat Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) merasa peduli dan tanggap dengan musibah meletusnya gunung Merapi yang menyebabkan ribuan warga harus mengungsi. Bentuk kepedulian UMY tersebut diwujudkan dengan didirikannya posko kesehatan pengungsi.
Demikian disampaikan Rektor UMY, Dasron Hamid, M,Sc saat mengunjungi posko kesehatan peduli Merapi di desa Puwobinangun, kecamatan Pakem, Sleman Yogyakarta.
Posko kesehatan yang didirikan oleh Fakultas Kesehatan dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UMY bekerjasama dengan Asri Medical Center (AMC) berdiri sejak 27 Oktober tersebut melayani para warga yang berada di barak pengungsian dengan menerjunkan beberapa dokter dan perawat untuk melakukan pemeriksaan dan pemberian obat. “Untuk pemberian obat, biasanya akan habis dalam waktu 2-4 hari. Jika mereka masih belum sembuh dan memerlukan pemeriksaan dan pengobatan, mereka bisa kembali dan memeriksakan diri ke posko kami,” ujar salah satu koordinator, Salmah Orbayinah, Apt, M.Kes, Selasa (2/11).
Salmah menuturkan, kebanyakan pengungsi mengeluhkan diare, batuk, pusing, iritasi mata, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). “Munculnya beragam keluhan ini dimungkinkan datangnya hujan abu dan kondisi barak pengungsian yang belum sepenuhnya dapat diadaptasi oleh para pengungsi. Di posko ini juga menyediakan tabung oksigen bagi warga yang mungkin memerlukan,” jelasnya.
Ia menambahkan, posko kesehatan itu didatangi para warga yang umumnya berusia 30-50 tahun. “Meskipun begitu, ada beberapa anak-anak yang datang dengan mengeluhkan mata pedih dan batuk,” imbuh Salmah.
Sementara itu, koordinator lainnya, dr. Agus Widyatmoko, Sp.PD, M.Sc mengungkapkan pihaknya sedang memikirkan adanya kemungkinkan pemberian konseling bagi para pengungsi karena tak bisa dipungkiri jika para pengungsi mulai dilanda penyakit komunitas yang mengganggu psikis. Penyakit komunitas yang muncul ketika para warga berkumpul di suatu tempat diakibatkan karena adanya pemicu stressor atau penyebab stres.
“Hal ini dikarenakan kondisi pengungsian yang padat dan ramai, sanitasi yang mungkin kurang bersih, banyak anak-anak yang tidak doyan makan, bagaimana nasib ternak mereka ketika ditinggal mengungsi, serta banyaknya hal yang dipikirkan apa yang akan dilakukan mereka selepas pulang dari pengungsian dan masih banyak lagi. Kondisi inilah yang menjadi pemicu timbulnya stres pada beberapa pengungsi. Untuk itu konseling dari psikolog pun diperlukan,” tandasnya.