Berita

Pelajaran Bahasa Inggris Perlu Masukkan Pendidikan Karakter

IMG_0089Dunia pendidikan Indonesia semakin menurun kualitasnya setiap tahunnya, ini terjadi karena adanya problem remaja yang mudah marah dan akhirnya berujung pertikaian atau tawuran. Selain itu penyalahgunaan obat-obat terlarang, minuman keras, perilaku penyimpangan sosial, seperti, free sex, dan pergaulan bebas, menjadi pemicu menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia. ”Meskipun pemerintah di Indonesia sudah sedikit demi sedikit melakukan perubahan dengan adanya program pendidikan karakter, namun pada kenyataannya itu masih belum maksimal dalam pelaksanaannya. Ini disebabkan karena dalam sistem pendidikannya tidak menerapkan keseimbangan kognitif (akal), afektif (hati), dan psikomotor (psikomotor). Bahkan yang ditonjolkan lebih kepada kognitif daripada afektif dan psikomotor, wajar bila tak maksimal dalam pelaksanaannya. Melalui pendidikan Bahasa Inggris pendidikan karakter bisa dibentuk untuk generasi muda,” Drs. H. Nurudin Prihartono, M.Hum selaku mahasiswa program doktor Psikologi Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat mempresentasikan disertasinya dalam acara Ujian Terbuka Sidang Promosi Doktor pada hari Sabtu (24/10) di Pasca Sarjana UMY.

Nurudin menjelaskan, untuk itu nilai-nilai karakter bangsa ini sudah semestinya ditumbuh kembangkan, terutama bagi generasi muda melalui pendidikan karakter yang holistik-integratif melalui semua mata pelajaran, termasuk mata pelajaran bahasa inggris. Ada 3 kompetensi, yaitu meliputi, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. “Bahasa Inggris bisa menjadi wahana untuk penanaman nilai-nilai karakter guna mencapai ketiga kompetensi tersebut. Alasannya, karena Bahasa Inggris merupakan bahasa asing pertama di Indonesia yang dianggap penting guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan berhubungan dengan bangsa-bangsa lain. Namun pada kenyataannya, kesuksesan pengajaran bahasa inggris di Indonesia masih belum maksimal,” jelas Guru Bahasa Inggris di SMK Al-Hikmah, Karangmojo, Gunung Kidul.

Seperti pada kasus di XI IPS 2 dan 3 di SMN Wonosari dan Playen, bahwa kemampuan bahasa inggrisnya masih terbilang rendah. ”Padahal siswa-siswi belajar bahasa inggris selama 4 jam pelajaran setiap minggunya. Mengapa demikian? Alasan yang pertama, karena masih rendahnya taraf pencapaian/ prestasi belajar bahasa Inggris (real scholastic achievment). Indikator rata-rata baik UAS atau UAN masih berkisar nilai 5, dan rata-rata nilai UH (Ulangan Harian) dan UTS jauh di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Kedua, siswa belum mampu berbahasa inggris (language skill) dalam komunikasi berbahasa inggris. Hal ini terjadi karena masih berorientasi pada UAN yang mencakup pada reading, listening, speaking, dan writting, ” terang Guru Bahasa Inggris di SMA Al-I’thisam Playen, Gunung Kidul.

Namun, disisi lain, lanjutnya, selain kedua faktor itu, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan permasalahan di atas. Masih adanya siswa yang kurang motivasi untuk belajar, menganggap bahasa inggris tidak penting, sulit, butuh waktu lama, tidak tertarik atau mudah bosan, kurang memperhatikan kesiapan, kepercayaan diri kurang, mudah putus asa, kurang disiplin, dan kurangnya kejujuran. Kemudian adanya faktor malas belajar, kurangnya daya serap siswa-siswi, bersifat individualistik, ketergantungan pada orang lain, kurang religius, rasa hormat atau sikap kepedulian yang kurang, kurang memahami perintah guru, kurang kreatif, kurang tanggung jawab, dan hasil belajar siswa rendah. “Dari beberapa faktor yang disebutkan tersebut akhirnya siswa tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran, yakni berkomunikasi menggunakan bahasa inggris dengan lancar, dan akurat,” lanjutnya.

Dalam hal ini, pendidikan karakter yang diselipkan di pendidikan bahasa inggris ini bukan hanya untuk membentuk pendidikan karakter tetapi juga bisa meningkatkan nilai dalam mata pelajaran bahasa inggris. ”Model pendidikan karakter dengan pendekatan holistik-integratif dengan penerapan Content-Based Instruction (CBI) bukan hanya meningkatkan prestasi belajar tetapi juga meingkatkan sikap/ karakter siswa. Selain itu CBI ini juga memudahkan guru dalam menyusun rencana pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Model ini dapat membangun generasi muda yang unggul dala memimpin negeri di masa mendatang. Karena, guru sebagai ujung tombak dalam menanamkan nilai-nilai karakter pada anak didik untuk menciptakan komunitas kepribadian luhur dan berakhlak mulia di lingkungan sekolah, ” terangnya.

Model pendidikan karakter melalui CBI tersebut, menurut Drs. Nurudin yang berhasil meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan tersebut, dapat dilakukan dengan bertitik tolak dari suatu topik atau tema yang dipilih dan dikembangkan guru bersama anak, dengan cara mempelajari dan menjelajahi konsep dari tema tersebut. “Hal tersebut bisa pula dilakukan dengan model inkuiri yakni, proses yang melibatkan anak dalam perencanaan eksplorasi dan tukar menukar ide, serta mendorong anak untuk bekerjasama dalam kelompok dan merefleksikan kegiatan belajarnya dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.

Agar lebih maksimal, terangnya, dalam menanamkan pendidikan karakter, bukan sebatas guru dan murid saja, tetapi juga melibatkan stakeholder yang lain. Misalnya dengan melibatkan seluruh sivitas sekolah, seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru mata pelajaran, guru BK, staf karyawan, tukang kebun, penjaga sekolah, penjaga keamanan (Satpam), penjaga kantin, petugas perpustakaan, orang tua murid (wali murid), murid itu sendiri, lingkungan masyarakat setempat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Apabila aspek-aspek tersebut bisa dimaksimalkan dengan sangat baik, maka pendidikan karakter ini bisa terbentuk di dalam diri siswa-siswi tersebut,” tutupnya.