Berita

Pelaku Pembakaran Hutan Tidak Pahami Dampak Ekonomi yang Ditimbulkan

Isu asap yang akhir ini ramai diperbincangkan publik merupakan akibat dari pembakaran hutan dan lahan gambut di wilayah Sumatera. Pembakaran dilakukan oleh para oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk membuka lahan yang kemudian dimanfaatkan untuk pembangunan industri baru. Pembukaan lahan dengan sistem pembakaran hutan dinilai lebih ekonomis oleh para pemilik industri, dibandingkan dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Keterbatasan waktu juga biasanya menjadi salah satu faktor dipilihnya cara pembukaan lahan dengan sistem pembakaran.

Namun yang disayangkan adalah para oknum-oknum tersebut tidak mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan akibat pembakaran hutan. Terutama dari segi ekonomi yang dapat memberikan efek berkepanjangan sebagai imbas dari timbulnya banyak asap akibat pembakaran hutan. Hal tersebut yang disampaikan oleh Dr. Endah Saptutyningsih,M.Si dalam diskusi umum yang diselenggarakan oleh komunitas GESFID (Group of Economics Students For Future Indonesia Development) pada Sabtu (17/10) di Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. “Tahun 2014 kerugian yang disebabkan oleh asap akibat pembakaran hutan ditaksir hingga 1,6 milyar dolar Amerika. Padahal tahun lalu kejadian hanya terjadi 3 bulan dari bulan Februari hingga April,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa tahun ini merupakan bencana asap terbesar dan sangat memungkinkan kerugian ditaksir lebih banyak daripada tahun lalu.

“Penutupan bandara dan pembatalan penerbangan tentu sangat mengganggu berjalannya sistem sosial akibat kabut asap. Dari sektor transportasi juga akan berdampak pada sektor pariwisata,” tambah Dr. Endah. Transportasi yang terganggu akan juga mengganggu datangnya wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang ingin mengunjungi area wisata di daerah Sumatera dan Kalimantan. Hal tersebut tentu berdampak pula pada penurunan pendapatan negara dari sektor pariwisata.

Belum lagi dari sektor produksi barang dan jasa sudah jelas akan mengalami penurunan drastis yang juga ditambah dengan permasalahan kesehatan sumber daya manusianya. Siklusnya adalah pertama pembakaran lahan kemudian berdampak pada kabut asap yang tebal. Kabut asap tersebut kemudian berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar, terutama para pekerja. Di saat kesehatan para pekerja menurun, hal tersebut akan berpengaruh pula pada menurunnya produktifitas kerja mereka, yang kemudian menyebabkan turunnya pula produksi barang dan jasa. Hal tersebut bahkan dapat berdampak pada kerugian yang sangat besar yang ditanggung oleh produsen hingga pada penutupan perusahaan sementara hingga kondisi kembali normal. “Bukan hanya itu saja, dampak juga akan dirasakan oleh masing-masing individu pekerja. Ketika produktivitas kerja mereka menurun, tentu akan berpengaruh pada pendapatan pribadi mereka,” tutur Dr. Endah.

Dampak ekonomi yang disebabkan oleh bencana asap memang sangatlah besar, terutama dengan penanganan yang sangat lambat oleh pihak pemerintah. Dewi Nurul Mustjari,S.H.,M.Hum selaku dosen Fakultas Hukum UMY menyatakan lambatnya penanganan tersebut juga merupakan bentuk dari kebijakan pemerintah yang bermasalah. Undang-undang terkait perusakan lingkungan sudah lama dibuat, seperti UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. “Rata-rata upaya pemerintah sudah sangat maksimal, namun hanya saja bentuknya dalam konsep dan tulisan. Sedangkan yang menjadi kendalanya adalah pelaksanaannya yang banyak tersendat,” tutupnya. (Deansa)