Berita

Pemahaman Sikap dan Budaya Kaum Muda Muslim Penting Untuk Cegah Radikalisme

Radikalisasi merupakan masalah yang masih banyak terjadi di Indonesia dan seringkali pemuda-pemuda tanah air terjebak di dalamnya. Pencegahan agar para pemuda sebagai penerus bangsa tidak terpengaruhi oleh paham-paham ekstrim tersebut sangat penting untuk dilakukan. Terlebih untuk kaum muda beragama agar mereka tidak terjerumus dalam pemahaman yang cenderung ekstrimis. Untuk memahami sikap dan perilaku kaum muda demi melakukan pencegahan tersebut, Center for the Study of Rekigion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan sebuah penelitian mengenai arah dan corak keberagaman kaum muda muslim Indonesia.

Sosialisasi hasil temuan dari penelitian dengan judul Penelitian Tentang Kaum Muda Muslim: Sikap dan Perilaku Perihal Kekerasan dan Ekstrimisme tersebut dilaksanakan pada hari Senin (12/2) di gedung Kasman Singodimejo Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Dr. Chaider S. Bamualim selaku koordinator untuk penelitian di 18 kota/kabupaten tersebut menyebutkan bahwa ada beberapa tren yang dianut oleh kaum muda (15-24 tahun) muslim terhadap beberapa isu. “Ada beberapa isu yang bersinggungan dengan radikalisme dalam fokus penelitian ini, yaitu; toleransi; kebebasan dan hak; lalu ideologis. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, kaum muda Indonesia memiliki beberapa tren yang menjelaskan bagaimana pandangan mereka mengenai isu tersebut,” ujar Chaider.

“Untuk isu toleransi ada 2 tren yang terjadi, pertama toleransi komunal dan skriptural dimana kaum muda menggunakan dalil Alqur’an dan hadits dengan pemahaman yang literal. Namun pemahaman ini tidak diikuti dengan kontekstualisasi makna teks sesuai dengan sebab munculnya ayat atau hadits tersebut. Contohnya yang terjadi adalah dimana kaum muda muslim merasa tidak masalah bergaul dengan siapa saja. Tetapi ketika menyentuh wilayah politik mereka akan bertindak dengan menggunakan pedoman agama, misal dalam isu pemimpin muslim dan non muslim. Lalu yang kedua adalah toleransi kewargaan dan pluralisme yaitu toleransi yang berangkat dari nilai-nilai kesetaraan antar warga dan penghormatan terhadap kebebasan asasi yang dimiliki dan dijamin oleh negara,” papar Chaider.

Sedangkan dalam isu kebebasan dan hak serta ideologis, Chaider menyebutkan ada 3 tren yang terjadi yaitu setuju, setuju dengan syarat, dan menolak. “Mereka yang setuju menyebutkan bahwa isu tersebut merupakan bagian dari Islam dan menghormati orang lain untuk mempraktikkannya. Begitu juga dengan tren yang kedua, hanya saja mereka berpendapat isu tersebut harus dibatasi dengan aturan, baik oleh agama ataupun budaya setempat. Sementara itu dalam tren yang ketiga mereka menolak secara total atas keberadaan isu tersebut karena menurut mereka isu tersebut merupakan produk barat yang dapat merusak Islam,” jelasnya.

Chaider menyebutkan dari penelitian yang dilakukan terhadap kaum muslim muda terpelajar tersebut, mereka cenderung menganut sikap yang dan perilaku keberagaman yang konservatif dengan corak yang komunal, skriptural dan puritan. “Meskipun demikian, sikap dasar dari generasi milenial ini adalah terbuka dengan nilai serta prinsip keberagaman yang moderat. Juga mereka lebih menghargai kebebasan individu dan juga HAM secara umumnya, walaupun masih dibatasi oleh norma agama dan budaya,” ungkap Chaider.

Pendidikan Karakter

Menurut Hilman Latief, S.Ag., MA. Ph.D., selaku peneliti untuk kota Yogyakarta dan Solo, hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut adalah ekspresi dari identitas diri mereka. “Hasil yang kami dapatkan ini adalah Hibridasi Identitas, yaitu hasil dari persilangan afiliasi dan orientasi keagamaan berdasarkan dinamika dan interaksi sosial-politik-keagamaan yang mereka alami di lingkungan sosialnya. Perlu kita pahami bahwa pada fase yang dialami kaum muda ini merupakan masa pencarian jati diri. Pandangan dan pengetahuan yang mereka gunakan saat itu adalah untuk membentuk sikap untuk merespon situasi aktual. Sikap tersebut bisa bersifat sementara ataupun permanen,” jelas Hilman.

Menurutnya pendidikan karakter penting untuk membentuk pandangan yang positif sebagai pondasi menentukan sikap dan juga sebagai benteng terhadap radikalisme dan ekstrimisme. “Ini juga menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi di kaum muda seperti pembacokan Romo di Jogja kemarin. Pada masa pencarian ini, kaum muda perlu dibina dan diarahkan agar dapat membentuk karakter yang positif. Kita perlu mengisi ruang-ruang gagasan yang mereka miliki dengan hal-hal yang terbuka dan berkemajuan, dan ini harus dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan,” papar Hilman.

Sebagai usaha untuk membina kaum muda Indonesia, penelitian tersebut juga memberikan beberapa rekomendasi. Seperti melakukan pertemuan secara luas di kalangan kaum muda dengan latar belakang yang berbeda-beda. Memperkenalkan kaum muda dengan diskursus nilai-nilai kewargaan dan konteks ke- Indonesiaan juga perlu dilakukan di institusi pendidikan. (raditia)