Sustainable development (SD) atau Pembangunan berkelanjutan merupakan model pembangunan yang berusaha mengintegrasikan tiga aspek pembangunan yakni pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial. Saat ini, konsep SD yang menempatkan ekonomi dan lingkungan dalam posisi yang akomodatif ini menjadi salah satu model pembangunan yang sangat dianjurkan bagi negara-negara di dunia untuk memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan. Hal ini disebabkan oleh keadaan dunia yang sedang mengalami permasalahan lingkungan yang cukup memprihatinkan.
Namun, hasil penerapan SD di Indonesia yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan pada bidang pertanian dan lingkungan disebabkan oleh pemahaman pemerintah terhadap SD masih setengah-setengah. Pelaksanaan tiga unsur dalam SD tidak dilakukan secara terintegrasi. Artinya ketiga unsur ini masih dilakukan sendiri-sendiri.
Demikian disampaikan oleh Ermawanto, mahasiswa ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI UMY) dalam diskusi terbatas yang mengulas skripsinya mengenai lingkungan berjudul Kegagalan Pembangunan Berkelajutan di Indonesia, bertempat di Kampus Terpadu UMY, Selasa (11/5).
Menuurtnya, penerapan SD di Indonesia tertera dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang diagendakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Propenas diagendakan setiap 5 tahun kali sejak tahun 1999, 2004, hingga 2009. Dalam propenas tersebut secaqra garis besar dijelaskan komitmen pemerintah terhadap kepedulian atas lingkungan. Pelaksaan Propenas menghasilkan peningkatan pada bidang industri dan pelayanan jasa, namun penurunan pada bidang pertanian dan lingkungan. Kerusakan hutan juga masih sangat memprihatinkan. Bahkan, menurut data WALHI setiap jam hutan Indonesia hilang seluas tiga kali lapangan bola.
Wanto mencontohkan, Menteri perekonomian mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa melihat kelestarian lingkungan. Begitu juga sebaliknya, Menteri lingkungan hidup terus melakukan perbaikan lingkungan tanpa melihat indikator pertumbuhan ekonomi di sana. “Harusnya setiap agenda pembangunan yang dilakukan melihat ketiga unsur SD tersebut, bukan terpisah-pisah,”ungkapnya.
Selain pandangan pemerintah yang setengah-setengah dalam memahami SD, Wanto melihat kegagalan penerapan SD di Indonesia juga disebabkan oleh penetrasi pasar yang cukup kuat di Indonesia sehingga pertumbuhan ekonomi lebih diutamakan dibandingkan kelestarian lingkunga dan sering kali terjadi hubungan negatif antara kedua unsur tersebut. Contohnya apa yang terjadi di Lapindo. Menurut Wanto jelas terlihat kepentingan ekonomi yang sangat menonjol dalam kasus tersebut dan mengabaikan lingkungan. Pengeboran yang dilakukan di Sidoarjo tersebut memunculkan lumpur yang melumpuhkan sumber produksi masyarakat. “Ujung-ujung berakibat pada penghambatan kesejahteraan sosial masyarakat,” urai mahasiswa asal Kalimatan Tengah ini.
Selain Lapindo ada juga PT.Freeport yang telah melakukan eksplorasi emas di Indonesia selama 43 tahun sejak 1967 telah membuang 300.000 ton limbah per hari yang menyebabkan tiga sungai di sekitar penambangan tercemar. Tidak ikan dan mahluk hidup lain di sungai tersebut karena pencemaran oleh pembuangan limbah tersebut. Selain itu ratusan kilometer hutan di sekitar freeport juga sudah gundul. “Fakta ini mengingatkan pemerintah jangan sampai pasar yang mengendalikan lingkungan,”tandasnya.