Saat ini Indonesia tengah mendapatkan protes besar-besaran dari Malaysia dan Singapura perihal kabut asap di pulau Sumatera dan Kalimantan yang telah menyebar ke kedua negara tetangga tersebut. Kedua negara tetangga tersebut telah menawarkan bantuan untuk menyelesaikan permasalahan kabut asap, namun pemerintah Indonesia tidak menanggapi tawaran tersebut. Padahal, kasus ini telah terjadi lebih dari satu bulan, sedangkan kasus kabut asap belum tuntas terselesaikan. Sehingga dalam hal ini, pemerintah Indonesia dinilai sangat lambat dalam menangani masalah kabut asap yang sudah merambah ke dua negara tetangga.
Hal tersebut yang diungkapkan oleh Ade Ma’ruf Wirasenjaya, S.IP, M.A., dosen Ilmu Hubungan Internasional UMY saat ditemui di laboratorium HI pada Rabu (30/09). Ia menjelaskan bahwa dengan adanya kabut asap, kehidupan masyarakat Malaysia dan Singapura menjadi terganggu, terutama Singapura yang merupakan negara yang selalu mengandalkan penyelenggaraan event internasional di negaranya sebagai pemasukan negara.
“Menurut saya pemerintah Indonesia terlalu berlebihan karena belum mau menerima bantuan yang ditawarkan negara tetangga. Padahal Indonesia telah meratifikasi AATHP (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Polution) pada tahun 2014, dimana negara-negara ASEAN dapat saling membantu ketika terjadi bencana asap,” terangnya. AATHP sendiri merupakan kesepakatan antar negara-negara ASEAN untuk saling membantu, menjadi supervisor, dan asistensi ketika terjadi bencana asap di salah satu negara ASEAN.
Mantan kepala jurusan HI UMY itu juga menekankan bahwa sudah seharusnya pemerintah menaikkan skala bencana kabut asap dari bencana lokal menjadi bencana nasional. Selama ini, permasalahan kabut asap masih dilimpahkan ke gubernur maupun pemerintah daerah setempat. “Padahal tidak semua gubernur cekatan dalam menghadapi masalah kabut asap. Dan kabut asap ini tidak hanya menjadi masalah lingkungan hidup namun juga ekonomi, social security dan persoalan ekosistem yang punah. Oleh karena itu, Presiden harus mengambil alih permasalahan ini,” jelasnya.
Ade juga menyampaikan, suatu bencana dapat dikategorikan ke dalam bencana nasional dilihat dari skala besar bencana tersebut. Saat ini bencana asap di Sumatera dan Kalimantan skalanya sudah besar, namun pemerintah belum menetapkan status menjadi bencana nasional. “Dengan diubah status menjadi bencana nasional, Presiden akan memiliki kewenangan untuk mengontrol pemerintah dan pejabat-pejabat di bawahnya. Dan dengan Presiden andil dalam masalah bencana asap, negara tetangga juga akan menilai baik atas langkah yang diambil Presiden Indonesia. Namun saat ini hal tersebut belum terjadi dan sudah sangat terlambat,” tuturnya.
Tidak hanya menilai dari segi pemerintah Indonesia, Ade Ma’ruf juga mengatakan bahwa kesalahan ada pada masyarakat di daerah dan kulturnya. Hal ini terkait dengan terjadinya perbudakan saat pembebasan lahan. Pemilik perusahaan ketika ingin membuka lahan, biasanya akan lebih senang menggunakan budak-budak yang mau dibayar murah. Sedangkan budak-budak tersebut juga merasa membutuhkan uang untuk kepentingan ekonomi pribadi dan kemudian menggadaikan nilai-nilai pelestarian lingkungan hidup. “Para budak biasanya tidak peduli atas kerusakan yang akan mereka sebabkan. Mereka hanya menjalankan perintah dari atasan mereka demi uang. Dan biasanya para pengusaha memilih jalur seperti itu karena cost yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan jika harus membuka lahan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan,” jelasnya.
Ade juga sempat menyinggung Amerika Serikat yang juga pernah mengalami kasus yang hampir serupa dengan Indonesia saat ini. Menurutnya, pada tahun 2010 lalu, Teluk Mexico menerima tumpahan minyak milik British Petroleum dan menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah tersebut. Saat itu preseiden AS, Barack Obama langsung menuntut perusahaan minyak tersebut untuk membayarkan denda kepada masyarakat sekitar Teluk Mexico yang dirugikan. Bahkan British Petroleum terpaksa harus menjual sahamnya di Eropa untuk menutupi denda tersebut. “Kasusnya tidak jauh beda, karena juga melibatkan negara lain sebagai korbannya. Namun sikap yang diambil oleh presiden AS lebih cepat, dan itu yang membedakannya dengan Indonesia,” akhirnya. (Deansa)