Isu perdamaian masih menjadi perbincangan hangat di kalangan banyak orang, tidak sebatas pada kelompok pemerhati perdamaian namun juga termasuk para akademisi. Akan tetapi, upaya resolusi atau penyelesaian konflik antar negara atau kelompok yang bertikai terkadang tidak mendapatkan porsi khusus dari pemerintah setempat. Contohnya di Indonesia sendiri, pemerintah daerah maupun pusat tidak memiliki catatan ataupun dokumentasi terperinci mengenai resolusi konflik maupun local wisdom untuk dijadikan pelajaran jika menghadapi konflik serupa di kemudian hari. Hal ini seharusnya menjadi perhatian dan fokus para pejabat pemerintah untuk juga mempertimbangkan kearifan lokal yang ada di setiap negara maupun di daerah sebagai salah satu upaya dalam menyelesaikan konflik.
Demikian disampaikan Dr. Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia, saat menjadi keynote speech dalam acara Opening Ceremony Mahathir Global Peace School (MGPS) ketiga “Interstate Relation and Global Justice for Peace and Conflict Resolution”, yang diselenggarakan pada Senin (1/12), di ruang sidang AR. Fachruddin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY. Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan Perdana Global Peace Foundation (PGPF) ini akan berjalan selama 10 hari, sejak Senin (1/12) hingga Rabu (10/12).
Dalam paparannya, Dino juga menyampaikan, Indonesia sebagai negara yang kaya akan kearifan lokal seharusnya bisa menggunakan kearifan lokal (local wisdom) itu untuk resolusi konflik. Sebab menurutnya, dalam kearifan lokal banyak mengandung kebijakan-kebijakan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam menyelesaikan konflik. “Indonesia harus bisa menggunakan local wisdom ini sebagai salah satu instrumen penyelesai konflik. Namun yang masih disayangkan hingga saat ini, local wisdom yang berasal dari seluruh penjuru Nusantara ini juga tidak terdokumentasikan dengan baik. Indonesia punya banyak local wisdom, tapi tidak punya indeks atau kategori untuk local wisdom itu agar bisa dijadikan salah satu rujukan dalam membangun kerukunan antar individu maupun kelompok,” paparnya.
Untuk itulah acara seperti MGPS tersebut, menurut Dino, menjadi salah satu cara bagi Indonesia maupun negara lain untuk terus menggali upaya-upaya penyelesaian konflik di negaranya. Apalagi dengan adanya keinginan untuk menciptakan perdamaian di dunia. Semua negara juga patut untuk saling mengenal keragaman sosial, tradisi, budaya dan agama di negara lain. Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) ini juga menyampaikan agar globalisasi yang kini tengah dihadapi oleh negara-negara di dunia, harus dihadapi dengan pikiran terbuka dan positif. “Era globalisasi saat ini harus kita lihat sebagai sebuah peluang. Kita punya kesempatan lebih di era globalisasi ini untuk bisa berkiprah di dunia internasional, termasuk upaya kita untuk menciptakan perdamaian,” ungkapnya.
Selain Dino Patti Djalal, pembicara lainnya yang juga turut menyumbangkan pemikirannya untuk menemukan penyelesain konflik di dunia, seperti Prof. Johan Galtung (Transcend), Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr. Rais Yatim (PGPF), Andrew James Bartles-Smith (ICRC), Emma Leslie (Center for Peace and Conflict Studies, Cambodia), Prof. Tulus Warsito (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Prof. Alberto Gomes (DEEP La Trobe University-Australia), Tan Sri Gen. (Rtd.) Mohd. Azumi (PGPF-Malaysia), Dr. Maung Zarni (LSE-London), Prof. Purwo Santoso (Universitas Gadjah Mada), Dr. Martino Sardi (PSPH-UMY). Serangkain dengan acara pembukaan MGPS pada 1 Desember 2014 ini juga akan dilaksanakan peresmian Pusat Studi Perdamaian dan Humaniter (PSPH UMY) dan Soft-launching untuk buku Global Peace for Justice and Humanity dimana Dr. Hilman Latief sebagai co-editor. Sementara itu, peserta yang hadir dalam MGPS ketiga ini berasal dari 12 negara, diantaranya Jerman, Australia, Thailand, Kenya, Kamboja, Tiongkok, Filipina, Sudan, Palestina, Turki, Malaysia dan Indonesia.