Kebijakan dari pemerintah harus berpihak pada buruh, jangan hanya berpihak kepada para pengusaha saja. Law Enforcement atau penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan tak pandang bulu terhadap para pengusaha nakal yang tidak memenuhi hak-hak buruh. Selama ini masih ada kesan, bahwa buruh diabaikan hak-haknya, sedangkan perusahaan dilindungi dan dibela kepentingannya.
Demikian dikatakan Tri Hastuti Nur Rohimah, M.Si, pengamat Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam sebuah diskusi menyambut hari buruh di Kampus Terpadu UMY, Jum’at siang (30/04).
Lebih lanjut, Tri memaparkan bahwa hak-hak buruh sampai hari ini masih jauh dari kelayakan, masih jauh dari apa yang seharusnya mereka dapatkan. Jadi, sangat logis apabila para buruh selalu menyuarakan tuntutan-tuntutan mereka.
Dosen Ilmu Komunikasi UMY ini juga berpendapat bahwa peringatan hari buruh yang jatuh pada 1 Mei ini seharusnya tidak hanya diperingati dengan cara yang sifatnya ritual seperti dengan melakukan demonstrasi, aksi, pidato dari pihak yang berwenang, atau cara-cara sejenisnya. Namun harus dimaknai lebih dalam lagi, dan segera dilakukan upaya perbaikan yang riil tiap tahunnya, seperti menindak perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya, memastikan jaminan keselamatan bagi para buruh, dan semacamnya.
Tri juga menyayangkan belum terselesaikannya permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia buruh seperti masalah buruh kontrak, upah minimum yang masih belum ditepati, ketiadaan jaminan kesehatan, dan lain sebagainya masih terus terdengar.
“Ini yang disayangkan. Seharusnya segera dicarikan jalan keluarnya. Masalah buruh kontrak misalnya, itu kan akal-akalan perusahaan, agar terhindar dari kewajiban. Masalah kontrak itu berpotensi menimbulkan masalah. Kapanpun perusahaan mau, mereka bisa saja memutuskan hak kerja secara sepihak. Buruh itu hanya dijadikan komoditas saja bukan manusia, bagian dari komoditi, bagian dari proses produksi. Jadi sewaktu-waktu apabila rusak atau produktifitasnya menurun, dapat diganti,” tutur aktifis perempuan ini.
Regulasi yang ada, menurut Tri, baik undang-undang atau peraturan lainnya sejak awal memang belum berpihak pada buruh, terlebih pada implementasinya. Buruh-buruh seperti pembantu rumah tangga, pekerja migran, selalu tertindas, tidak terpenuhi hak-haknya. Belum ada perlindungan, belum ada hukum yang berpihak kepada para buruh. “Setiap tahun itu devisa dari buruh, pekerja migran, dan sebagainya itu mencapai 94 triliun rupiah. namun setiap tahunnya pula, sekitar seribu orang buruh meninggal dunia dan lebih dari seribu lainnya mengalami kekerasan. Ironis sekali,” terangnya.
Menanggapi beberapa konflik buruh yang terjadi belakangan ini, baik di Sumatera Utara, maupun di Batam, Tri beranggapan hal tersebut merupakan fenomena gunung es, yang sebetulnya kondisi tersebut sudah dirasakan sejak lama, namun baru keluar saat ada momentum.
Ia melihat terjadinya konflik tersebut, salah satu sebabnya adalah karena adanya kesenjangan perlakuan antara buruh warga negara Indonesia dengan buruh warga negara asing. Namun menurutnya, kesenjangan antara buruh laki-laki dengan buruh perempuan, pun perlu mendapatkan perhatian lebih.
Cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan, bagi para buruh perempuan terkadang belum diakomodir oleh perusahaan. Masih banyak perusahaan yang tidak mau tau akan kondisi tersebut. Buruh perempuan yang sedang berada dalam fase tersebut, diharuskan untuk mundur dari perusahaan, sehingga ketika sudah selesai, harus memulai lagi dari awal. Selain itu, masih banyak perempuan yang tidak bisa mendapatkan posisi strategis di perusahaan.
Problema lain yang ditemukan di Indonesia adalah belum dijadikannya serikat buruh menjadi mitra kerja bagi perusahaan, malah dijadikan sebagai musuh. “Di Indonesia ini, serikat buruh masih belum dianggap sebagai mitra kerja, namun seringkali dianggap sebagai musuh,” imbuh Tri.