Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak-anak masih menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan dan menjadi persoalan serius dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat. Hal ini dibuktikan banyaknya kasus tindak kekerasan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya. Melihat persoalan tersebut Pemerintah, Muhammadiyah dan Aisyiyah berkomitmen untuk memberi perhatian khusus atas kasus tindakan kekerasan seksual di Indonesia.
Salah satu bentuk komitmen yang dilakukan melalui kajian respon tindakan kekerasan seksual di Indonesia melalui webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Webinar yang diselenggarakan pada hari Selasa (25/1) ini bertajuk “Negara dan Peran Muhammadiyah dalam Perlindungan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak-Anak”.
I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E., M.Si., Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyatakan bahwa isu kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan membutuhkan keterlibatan dari semua kalangan untuk memperhatikan secara khusus atas kasus tersebut.“Oleh karena itu dalam penanganan isu ini, membutuhkan keterlibatan dari semua pihak khususnya dalam kerangka berpikir yang sama bahwa kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa karena merenggut kemerdekaan seseorang,” terangnya.
Menurutnya, salah satu faktor adanya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak adalah konstruksi sosial patriarkis yang menempatkan perempuan dan anak pada berbagai kerentanan yang mengancam kualitas hidupnya.”Ketimpangan relasi kuasa merupakan akar dari fenomena kekerasan termasuk kekerasan seksual yang mengancam kehidupan anak-anak dan perempuan Indonesia sejak dulu hingga hari ini,” jelasnya.
Selama Pandemi Covid-19 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak terus meningkat dari jumlah kasus meningkat 18,32% pada kasus perempuan, 28,54% pada kasus anak dan jumlah korban meningkat 17,97% pada kasus perempuan serta meningkatnya korban anak sejumlah 28,72%.”Presentasi perempuan korban kekerasan yang terlaporkan menurut jenis kekerasan pada tahun 2021 antara lain 39% perempuan mengalami kekerasan fisik, 30% mengalami kekerasan psikis, 12% mengalami kekerasan seksual 10% mengalami penelantaran, dan 2 % mengalami TPPO. Sedangkan kekerasan yang dialami pada anak mayoritas mengalami kekerasan seksual dengan presentase sebanyak 45%, psikis 19%, fisik 18% dan penelantaran anak sebanyak 5%,”tambahnya.
Dari kasus tersebut, beberapa upaya pemerintah untuk menangani kasus kekerasan pada perempuan dan anak adalah mendorong pengesahan RUU TPKS.”Upaya pemerintah dalam melindungi perempuan dan anak adalah secara payung hukum mendorong pengesahan RUU TPKS, kemudian memberikan pendampingan melalui layanan SAPA 129 dan dari segi kelembagaan menyediakan lembaga yang memiliki fokus pada perlindungan perempuan dan anak,”paparnya.
Sementara itu, Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag., Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Aisyiyah, dalam pemaparannya menyampaikan bahwa baik Muhammadiyah maupun Aisyiyah mengutuk dengan tegas berbagai bentuk kekerasan seksual apalagi yang membahayakan terhadap perlindungan dan penghormatan martabat kemanusiaan, generasi, dan agama. “Berbagai upaya pencegahan dan penanganan telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah, diantaranya dengan melakukan sosialisasi konsep keluarga sakinah yang telah ditetapkan oleh Majelis Tarjih. Selain itu, kami juga melakukan pendampingan untuk korban dengan memberikan layanan yang dibutuhkan melalui Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Aisyiyah,” tegasnya.
Atiyatul menambahkan, pendampingan yang diberikan sangat beragam. Mulai dari pendampingan hukum, psikologis, spiritual, medis, hingga rehabilitasi. “Aisyiyah juga turut serta melakukan kajian terhadap RUU PKS atau RUU TPKS secara rutin dari berbagai prespektif,” tutupnya. (ays)