Upaya membangun Indonesia baru yang berorientasi kepada prinsip masyarakat madani membutuhkan manusia lintas budaya tanpa harus tercerabut dari akar budayanya, jauh dari sentimen keagamaan dan kesukuan yang berlebihan. Oleh karenanya, pengetahuan tentang pola relasi sosial serta kecenderungan sentimen keagamaan masih relevan dan penting dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Demikian disampaikan Dosen Fakultas Agama Islam – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI – UMY), DR. Nawari Ismail, dalam paparan hasil disertasinya yang berjudul “Relasi kekuasaan dalam pengubahan budaya Wong Sikep di bumi Minotani”, di Kampus Terpadu UMY, Rabu (21/4). Disertasi tersebut telah dipertahankan pada sidang promosi Doktor bidang Antropologi di Universitas Indonesia.
Menurutnya, era reformasi di Indonesia melahirkan dilema, di satu sisi ada pengakuan dan penumbuhkembangan prinsip –prinsip masyarakat madani dan multikulturalisme, namun di sisi lain konflik horizontal bernuansa agama dan konflik vertikal antara kelompok agama dengan negara masih sering terjadi. Munculnya konflik tersebut menandakan adanya kegagalan interaksi antarbudaya.
Dalam penelitiannya, Nawari menemukan di daerah Wong Sikep yang menjadi objek penelitiannya, selain ada semangat pluralisme, berkembang juga persaingan antarkelompok agama dan aparat pemerintah. Wong Sikep atau yang disebut juga Orang Samin adalah penganut agama Adam, sebuah agama lokal. Mereka tersebar di berbagai daerah seperti Pati, Kudus, Rembang, Jiwan Madiun, Grobogan, dan Bojonegoro.
Berbagai kebijakan negara ditujukan untuk mengubah budaya Wong Sikep, baik melalui pembinaan agar mereka mengubah budaya dan masuk agama resmi yang diakui pemerintah dengan mencantumkan salah satu agama resmi tertentu pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai Wong Sikep yang merupakan salah satu Komunitas Lokal termasuk Komunitas Adat Terpencil (KAT) terkait beragam hal, mulai dari pendidikan, keagamaan, perekonomian, dan sosial. “Dengan beberapa kebijakan yang ada, pemerintah berusaha mengubah kebudayaan, pendidikan, pola pertanian yang menjadi kebiasaan Wong Sikep. Namun kebijakan yang diterapkan pada level bawah ini ternyata melahirkan ketegangan baik antara pemerintah dan Wong Sikep,”jelasnya.
Keadaan tersebut, diakui Nawari memberikan implikasi praktis, yaitu Pemerintah dinilai kurang berhasil dalam melaksanakan program KAT yang diterapkan pada Wong Sikep karena banyak aparat Pemerintah yang hanya berperan sebagai agen daripada aktor. “Sebagai agen, Pemerintah lebih berperan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan beberapa kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, maupun kepentingan lainnya,” ujar Nawari.
Selain itu, tidak dilibatkan anggota KAT dalam setiap proses perencanaan, pemberdayaan, dan pembinaan di lingkungannya juga menjadikan program KAT yang dilakukan pun menjadi gagal.
Oleh karenanya, Nawari menegaskan pentingnya Pemerintah berperan sebagai aktor dimana mereka taat dan patuh terhadap aturan yang berlaku, tidak menggunakan kepentingan pribadi untuk menerapkan program bagi KAT. “Pemerintah harus bersikap akuntabel dan transparan dalam menjalankan program KAT. Termasuk didalamnya adalah melibatkan Wong Sikep secara aktif dalam proses pemberdayaan bagi mereka sehingga program berjalan sesuai kebutuhannya,” terangnya.
Wong Sikep selama ini dianggap sebagian masyarakat sebagai warga yang tidak nasionalis serta tak mengenyam pendidikan. Bagi Wong Sikep, ketika seseorang berpendidikan, maka dia akan terlalu banyak tingkah dengan keilmuannya tersebut yang merugikan orang lain dan tak lagi berpihak pada rakyat kecil. Persepsi tersebut sudah ada sejak kolonial Belanda dan melekat bagi Wong Sikep.
Upaya elegan tersebut, diakui Nawari, membutuhkan strategi jangka panjang dan kesabaran dari pemerintah. Wong Sikep merupakan salah satu contoh dari kelompok minoritas yang ada di negeri ini, sehingga mereka pun berhak mendapatkan perlindungan hak asasi manusia dari pemerintah agar dapat membaur dan berinteraksi dengan masyarakat dengan upaya – upaya yang elegan.
“Pemerintah tetap harus memperhatikan komunitas lokal yang ada saat ini. Namun perlu cara yang elegan untuk memberdayakan mereka karena nilai –nilai budaya yang mereka miliki harus dihormati. Oleh karenanya, menjadi penting ketika Pemerintah dan komunitas lokal mengadakan dialog bagi kebaikan bersama,” tandasnya.