Berita

Pemerintah Tak Lihat Atlit Sebagai Profesi

Kemenangan Indonesia sebagai juara umum Sea Games XXVI lalu dinilai sejumlah kalangan tidak sempurna lantaran sejumlah medali Indonesia justru diraih di cabang-cabang olahraga yang tidak diselenggarakan di pentas Olimpiade, seperti silat, panjat tebing dan lain-lain. Olahraga di Indonesia masih jauh di bawah kualitas dunia. Hal ini dikarenakan pemerintah belum tanggap dalam membuat atlit sebagai sebuah profesi yang dipilih masyarakat.

Demikian disampaikan Drs. Agus Tri Basuki, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FE UMY) dalam diskusi publik “Di Balik Gemerlap Sea Games XXVI” yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FE UMY di Mini Theater, Gedung D Kampus Terpadu UMY, Rabu (7/12).

Pemerintah, menurut Agus memang belum melihat atlit sebagai sebuah karir profesional. Pemerintah pusat maupun daerah tidak melakukan pelembagaan pada sejumlah cabang-cabang olahraga dengan baik. Di Cina misalnya, pemerintah benar-benar melakukan pembinaan berkomitmen sejak usia dini dan menjamin kesejahteraan mereka. “Di Cina, seorang kutu buku bisa disulap jadi juara dunia angkat besi karena pencari bakat melihatnya berpotensi di cabang tersebut. Setelahnya, ada gaji yang cukup besar bagi pelatih olahraga”, terangnya.

Selanjutnya menurut Agus, Di Cina meskipun minat terhadap sebuah cabang olahraga kecil, pemerintah berupaya menimbulkan minat tersebut pada orang-orang yang dinilai berbakat. Lalu Cina mengumpulkan bakat-bakat atlit tersebut ke dalam lembaga-lembaga pendidikan yang fokus terhadap olahraga. Mereka dididik sehingga menghasilkan kualitas atlit yang maksimal, padahal pembinaannya cenderung memerlukan dana minim.

Berbeda dengan di Indonesia, pemerintah belum mampu melakukan pelembagaan seperti yang dilakukan di Cina. Banyak Pemerintah Daerah yang tidak melakukan pembinaan sejak dini. “Mereka cenderung hanya mencari atlit-atlit yang memang sudah berprestasi untuk mengikuti kejuaraan-kejuaraan yang ada, menjelang PON misalnya. Kalau bonusnya kecil, atlit akan cari daerah lain yang bonusnya lebih besar. Prestasi jadi tidak maksimal.”

Agus menjelaskan, sebenarnya ada potensi membuka lapangan kerja jika dapat membuat olahraga mejadi profesional. Hal ini dilakukan di beberapa negara Eropa seperti Inggris dan Italia yang menarik investor untuk menyelenggarakan kompetisi-kompetisi di sejumlah cabang olahraga profesional. “Hal ini dapat menggairahkan olahraga untuk semakin berkembang, dan mebuat masyarakat melihat atlit sebagai sebuah profesi, terutama sepakbola. ”,terangnya

Agus menghimbau, sekarang tinggal bagaimana pemerintah berkomitmen untuk membuka lapangan pekerjaan melalui olahraga. Karena selain pekerjaan sebagai atlit, majunya olahraga yang professional dapat menumbuhkan ekonomi rakyat dengan kebutuhan-kebutuhan akan fasilitas olahraga. “UMKM bisa berkembang untuk membuat alat-alat olahraga” tandasnya.