Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajaran, Dr. H.R.Dudy Heryadi, M.Si mengatakan bahwa untuk menjaga hubungan baik di kawasan ASEAN, pemerintahan Presiden Joko Widodo harus memperhatikan permasalahan perbatasan. Bentuk perhatian tersebut sebagai pembelajaran terkait banyaknya kasus pengklaiman wilayah perbatasan di kawasan ASEAN. Pada pemaparan Dr. Dudy pada seminar Nasional Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MIP UMY) yang bertemakan “Tantangan Pemerintahan Kabinet Jokowi-JK dalam Perspektif Nasional dan Global” , mengatakan bahwa konflik perbatasan menjadi polemik stabilitas politik di dalam ASEAN Community.
“Permasalahan perbatasan menjadi isu yang sering diperbincangkan. Bahkan pada kelompok ASEAN Community ini di dalamnya masih banyak kasus terkait perbatasan yang hingga saat ini masih belum terpecahkan. Bukan hanya konflik perbatasan antar Negara ASEAN, baru-baru ini pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, telah terjadi klaim Laut China Selatan oleh Negara Tiongkok. Hingga memicu konflik bersenjata antara kapal perang Indonesia dan Tiongkok,” ungkap Dr. Dudy, Sabtu (18/3) di Amphiteater Pascasarjana lantai 4 UMY.
Dr. Dudy menambahkan, konflik intra kawasan ASEAN tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia, meskipun di Indonesia sendiri harus merelakan beberapa pulau milik Indonesia di klaim oleh Negara lain. “Permasalahan perbatasan yang cukup pelik. Beberapa kawasan milik Indonesia telah diklaim oleh Malaysia pada kasus Ambalat dan beberapa wilayah di Kalimantan, batas laut di Selat Malaka dan Selat Singapura yang diklaim Singapura, hingga batas laut di Laut Cina Selatan yang juga diklaim oleh Vietnam. Bukan hanya itu, kasus serupa antara Thailand dan Kamboja, Filipina dan Malaysia, dan beberapa Negara di kawasan ASEAN memberikan daftar panjang terkait permasalahan perbatasan,” tambah Dr. Dudy.
Melihat dari permasalahan tersebut, Dr. Dudy mengatakan bahwa pada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang telah berjalan selama tiga tahun tersebut memberikan fokus pada visi maritimnya dalam menjaga kedaulatan, meskipun permasalahan perbatasan kawasan laut masih terjadi. “Poros Maritim menjadi sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin dan memelihara keterhubungan antar pulau, dan juga dapat memberikan perhatian pada keamanan maritim. Mengingat Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau, serta 70 persen wilayahnya berupa laut,” ungkapnya.
Senada dalam hal tersebut pada pembicara lainnya, Dr. Adi Santosa., SU seorang dosen FISIP Universitas Diponegoro mengatakan bahwa Jokowi telah memaparkan visi maritimnya sebagai investasi untuk masa depan yang kuat dan tegas di laut. “Kita tidak boleh lagi menolerir illegal fishing, penyelundupan, pelanggaran batas wilayah, atau pengembalian pencari suaka tanpa persetujuan kita, maupun pembangunan mercusuar oleh Negara tetangga di wilayah Indonesia. Hal ini yang tidak terlihat pada pemerintahan SBY. Mungkin karena SBY terlalu menenggang rasa kepentingan internasional, sehingga kita seolah dikorbankan dari sisi kedaulatan. Jokowi memiliki karakter yang berbeda ketimbang SBY dalam hal politik luar negeri,” ujar Dr. Adi. (hv)