Dalam konteks pemilu yang baik, semua lapisan masyarakat harus dilayani dalam melaksanakan kewajibannya, termasuk masyarakat yang memiliki keterbatas fisik atau difabel. Pemilih difabel tetap memiliki kesempatan atau hak suara dalam pemilu. Karena itulah pelayanan bagi pemilih difabel juga harus menjadi sorotan penting dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan dilaksanakan pada 27 Juni mendatang.
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Bambang Eka Cahya Widodo, S.IP, M.Si. Dosen Ilmu Pemerintahan bidang Politik spesialisasi Parpol, Pemilu dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP UMY) saat diwawancarai di ruang dosen prodi IP UMY pada hari Selasa (23/01).
“Para difabel juga termasuk sebagai pemilu inklusif. Pemilihan umum yang inklusif itu juga melibatkan orang-orang yang hanya dapat melakukan hal terbatas, seperti difabel, orang yang sedang menjalani masa tahanan, dan orang sakit, serta orang yang memiliki pekerjaan dengan mobilitas yang padat. Seperti pilot atau dokter bedah,” ujar Bambang.
Bambang juga menyampaikan bahwa akses berita dan informasi tentang pilkada juga sangat dibutuhkan para pemilih, terutama pemilih difabel dan beberapa pemilih yang memiliki gerak terbatas. Tak hanya itu, mereka juga harus mendapatkan pelayanan pilkada yang dapat menunjang hak mereka untuk memilih.
“Beberapa metode yang dapat dilakukan seperti menyediakan TPS khusus, mempermudah atau bahkan bisa jadi menyediakan TPS keliling. Inklusi juga menyediakan sarana prasarana khusus atau template khusus untuk tuna netra. Memang, untuk menyediakan template khusus itu tidak mudah, karena jika dilihat dalam sistem pemilihan pilkada dan pilpres mungkin hal tersebut bisa digunakan untuk para tuna netra karena sedikitnya jumlah kandidat. Namun jika dilihat saat Pileg, hal ini menjadi sebuah masalah karena banyaknya nama calon dan lambang partai yang ada di kertas suara dan sangat menyulitkan pemilih. Inilah yang menjadi tantangan bagi penyelenggara pemilu,” ungkapnya.
Bambang menambahkan bahwa melihat ke arah saat ini, pelayanan untuk para difabel sudah cukup membantu, namun terkadang tidak difikirkan penempatan Tempat Pemungutan Suara (TPS). “Beberapa pilkada sudah banyak menyediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kalangan tuna rungu agar dapat mengikuti rangkaian pemilu di televisi. Sudah ada juga yang menyediakan guide untuk kalangan tuna netra untuk membantu mengarahkan dan masih banyak lagi lainnya. Namun masih banyak penempatan PTS yang tidak sesuai tempatnya untuk kalangan difabel, contohnya TPS yang berada di daerah perbukitan. Selain itu, yang perlu diperhatikan pula oleh penyelenggara pemilu dan KPU adalah para difabel dengan cacat fisik, karena pasti mereka mengalami kesulitan yang lebih besar,” tambahnya.
Di sisi lain, Bambang juga mengingatkan bahwa suara pemilih difabel sangat rawan dan bahkan juga dapat dimanipulasi. Apalagi pemilih yang dibantu, seperti pemilih tuna netra yang dibantu lantaran TPS tidak memiliki atau tidak menyediakan template khusus bagi mereka. “Karena itu, kami mengharapkan agar pelayanan bagi para difabel dalam pilkada dan pemilu yang akan datang, bisa lebih baik lagi. Sebab mereka juga memiliki hak suara dalam memilih, sama seperti orang-orang pada umumnya,” tutupnya. (Darel)