Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pemilu Serentak 2019 dinilai belum memberikan format atau desain yang jelas. Bagaimana bentuk pemilu serentak yang dimaksud dan kebutuhan atas perubahan peraturan perundang-undangan apa saja yang segera perlu dipersiapkan. Karena itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Electoral Research Institute (ERI) atau Institut Riset Kepemiluan, menyarankan agar Pemilu Serentak 2019 didesain dengan model pemilu serentak nasional dan provinsi.
Model pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti oleh pemilu lokal serentak pada tingkatan provinsi ini, dinilai dapat menjadi model yang paling ideal dan paling mungkin dilaksanakan di Indonesia untuk waktu ke depan. Prof (Ris). Dr. Ikrar Nusa Bhakti, Guru Besar Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, menjelaskan bahwa yang dimaksud pemilu serentak nasional dan provisi itu, pada tingkatan nasional, presiden, DPR, dan DPD dipilih secara serentak. Kemudian dilanjutkan dengan pemilu serentak regional dan lokal pada tingkatan provinsi untuk memilih kepala dan wakil kepada daerah, dan anggota DPRD. “Dalam arti lain, pemilu nasional serentak terpisah dari pemilu lokal yang juga serentak,” jelasnya saat menjadi narasumber utama dalam Kuliah Umum Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang bertajuk “Desain Pemilu Serentak 2019”, di Ruang Sidang Fakultas Hukum Kampus Terpadu UMY, Senin (23/2).
Prof. Ikrar memaparkan, penyatuan pemilu anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan pemilu kepala daerah akan mendorong partai politik untuk bersungguh-sungguh melakukan kerjasama dalam memenangkan pemilu. Sebab kader-kader parpol yang menjadi calon anggota DPRD harus melakukan kampanye secara bersama-sama melalui parpolnya. “Situasi seperti ini tentunya akan memaksa parpol tidak hanya harus solid bekerja pada saat pemilu, melainkan juga pascapemilu. Hal ini dikarenakan, jika parpol atau kepala daerah yang perfomance-nya buruk, akan dihukum pemilih dalam pemilu nasional,” paparnya.
Sementara itu, lanjut Prof. Ikrar lagi, jika waktu penyelenggaraan pemilu presiden dibarengkan dengan pemilu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), makan akan memengaruhi pilihan anggota legislatif. Artinya, kemenangan presiden terpilih akan diikuti oleh kemenangan koalisi parpol yang mencalonkannya. “Dengan demikian, pemerintahan yang terbentuk akan lebih efektif dalam bekerja. Karena ia mendapat dukungan penuh dari legislatif, sehingga fenomena negara terbelah (devided state) dapat dikurangi. Hal ini juga dapat mengurangi terjadinya fenomena unik dan aneh yang hanya terjadi di Indonesia ini, seperti kejadian partai pemerintah yang tidak mendukung kebijakan pemerintahnya sendiri,” imbuhnya.
Hal terpenting lagi, koalisi partai politik yang mendukung pasangan calon presiden terpilih akan cenderung mempertahankan koalisinya untuk berlaga dalam pemilu daerah. “Akibatnya, jika kinerja pemerintahan nasional bagus, maka pemerintahan daerah akan dipimpin oleh pasangan calon yang didukung oleh koalisi partai politik yang menguasai pemerintahan nasional. Dengan begitu pula, kebijakan pemerintah nasional bisa berjalan di tingkat daerah. Garis hirarki dan koordinasi pemerintahan juga akan berjalan mulus,” tuturnya.
Selain itu, menurut Prof. Ikrar, penyelenggaraan pemilu serentak melalui pemisahan pemilu lokal dan nasional, dapat memberikan jeda waktu bagi penyelenggara pemilu untuk melakukan tugasnya. Pemberian jeda waktu tersebut dengan sendirinya akan mengurangi beban dan volume pekerjaan penyelenggara pemilu. “Sementara di sisi pemilih, pemisahan pemilu lokal dan nasional akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mencari infromasi sebanyak mungkin atas kandidat partai yang akan dipilihnya. Dengan begitu, mereka akan lebih bersikap rasional dalam memilih,” ujarnya.
Pengamat bidang politik domestik ini juga menyebutkan, pemilu serentak tersebut juga penting untuk mengurangi praktik atau citarasa parlementer, meminimalkan “Presiden Minoritas”, membuat basis legitimasi Presiden seirama dengan dukungan politik di DPR-RI, dan mengurangi politik dagang sapi (horse trading politics) antara Presiden dan DPR. “Keuntungannya, efektivitas pemerintah akan meningkat karena terjadi efek ekor jas (coat-tail effects) antara tingkat keterpilihan kandidat presiden dan keterpilihan anggota DPR dari partai atau gabungan partai pendukung. Kemudian, koalisi partai politik akan terbentuk sebelum pemilu atas dasar kesamaan ideologi, visi dan platform yang sama; pemisahan pemilu nasional serentak dan pemilu lokal serentak akan berdampak positif pada pembangunan politik di tingkat lokal; menyederhanakan jumlah parpol; membangun koalisi politik yang permanen; mengurangi politik transaksional; kualitas politik nasional dan lokal makin baik; serta yang tak kalah pentingnya bisa meningkatkan partisipasi politik rakyat,” jelasnya.
Karena itulah, ia mengharapkan agar seluruh pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, DPR, DPD dan penyelenggara pemilu untuk memiliki pengertian yang sama mengenai pemilu nasional serentak. Dirinya juga berharap akan ada UU pemilu serentak yang dibuat. “Pertama UU Pemilu Serentak Nasional dan perubahan atas UU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) menjadi Pemilu Lokal Serentak pada tingkatan provinsi. UU Pemilu Serentak ini setidaknya harus sudah selesai pada awal 2016,” pungkasnya.