Pendaftaran paten di Indonesia masih tergolong rendah. Tidak saja masyarakat umum dan industri, namun hal itu juga terjadi pada dunia kampus. Padahal pendaftaran paten untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) perlu dilakukan untuk melindungi pihak-pihak yang memiliki kreativitas dari berbagai potensi kerugian.
Hal tersebut diungkapkan Pemeriksa Paten Ditjen HKI Kemekum HAM, Dr.Ir. Robinson Sinaga, SH.,LL.M saat menjadi pemateri Workshop Penyusunan Paten Drafting dan Lisensi HKI di UMY, Sabtu (1/11) pagi.
Robinson menilai masyarakat Indonesia belum maksimal dalam memanfaatkan fasilitas yang disediakan pemerintah dalam hal pendaftaran HKI. Pemohon pendaftaran paten di Indonesia, lanjut Robinson, justru lebih banyak didominasi pemohon dari luar negeri. “Di Indonesia tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Melihat statistik permohonan paten masih didominasi dari luar negeri,” jelas Robinson.
Lebih jauh ia menuturkan, mendaftarkan HKI sangat penting agar si pemilik ide tidak gigit jari ketika orang lain lebih dulu mendaftarkannya. Sebab jika suatu ide atau benda temuan telah didaftarkan, maka pihak lain di luar pendaftar tidak bisa dengan bebas membuatnya karena hukum akan menganggap pendaftar sebagai pemilik HKI dari temuan tersebut dan secara otomatis dilindungi.
“Bukan paten diberikan bukan pada orang yang menciptakan pertama kali, melainkan orang yang mendaftarkan paten-lah yang akan mendapatkan hak patennya. Jadi jika ingin dilindungi maka harus segera didaftarkan. Jika telah didaftarkan siapa saja yang ingin produksi harus izin. Sangat penting untuk melindungi kreatifitas kita dan memiliki dampak hukum bagi peniru,” sambungnya.
Rendahnya angka pendaftaran tersebut terlihat dari data Ditjen HKI Kemenkum HAM yang menyebutkan, sepanjang tahun 2013 kampus yang paling banyak mendaftarkan paten di Indonesia hanya mampu mendaftarkan paling banyak enam puluhan karya.
Berkaca pada data tersebut Direktur Sentra HKI UMY Dr. Mukti Fajar ND mengatakan, hal itu sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara maju seperti Amerika Serkat yang dunia kampusnya bisa mendaftarkan hingga ribuan paten. Bahkan, kampus di luar sana telah menggunakan HKI yang didaftarkannya untuk mendapatkan penghasilan. “Di luar negeri bisa menjadi sumber income,” tambahnya.
UMY, lanjut Mukti bertekad untuk terus meningkatkan jumlah karya yang didaftarkan. Sebab tahun 2013 saja UMY hanya mampu mendaftarkan 12 paten. Ke depan pihaknya menargetkan mampu mendaftarkan hingga 50 karya dari civitas akademika UMY.
Ia menilai memang sangat penting bagi UMY untuk mematenkan berbagai temuan yang dihasilkan, sebab saat ini banyak civitas akdemika yang memiliki temuan yang bagus. Civitas akademika UMY dituntut mampu menyelesaikan permasalahan di masyarakat menggunakan apa yang telah dipelajari di kampus sehingga tidak hanya sebatas menjadi teori semata.
“Mahasiswa banyak yg punya temuan yg luar biasa. Jika tidak segera didaftarkan bisa saja orang lain mendaftarkan ide serupa kemudian kita tidak bisa menggunakan dan mendapatkan keuntungan dari yang kita temukan itu, bahkan terlibat masalah hukum,” sambungnya. (Fahmy)