Berita

Pendidikan Bagi Para Difabel Belum Mendapatkan Perhatian Serius

IMG_2148Pendidikan merupakan suatu hak asasi yang mutlak diberikan pada setiap orang, bagaimanapun keadaannya. Pendidikan seharusnya juga tidak perlu membedakan keadaan manusia, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Persyarikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui forum Pendidikan Dunia pada tanggal 26 sampai 28 April 2000 di Dakar Senegal. Dalam forum tersebut menghasilkan enam komitmen kerangka aksi pendidikan untuk semua. Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah dengan bersama-sama merealisasikan kepastian pemenuhan kebutuhan belajar bagi semua orang untuk memperoleh akses yang adil dalam belajar dan program keterampilan hidup yang tepat bagi diri mereka. “Pendidikan harus dimaknai dengan tidak membedakan latar belakang, suku, agama, dan ras. Terlebih dari itu, pendidikan dapat diikuti oleh siapa saja termasuk penyandang cacat, selagi ia mampu menjalaninya, termasuk diffabel. Namun kenyataannya hingga kini, pendidikan bagi para difabel ini masih belum mendapatkan perhatian khusus dan serius,” ungkap Drs. Zamakhsari, M.Pd. saat menjelaskan hasil penelitian disertasinya dalam sidang promosi doktor ke 26 di Ruang Sidang AR Fachrudin A lantai 5 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Dalam sidang tersebut, Zamakhsari mengambil judul disertasi Pola Belajar Berdasarkan Regulasi Diri Pada Mahasiswa Difabel Netra dengan studi di Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta. Seperti yang diungkapkan oleh Zamakkhsari berdasarkan data terbaru setelah wisuda periode III (2010/2011), dari data tersebut diketahui bahwa tidak kurang dari 27 mahasiswa difabel netra yang saat ini menuntut ilmu di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. “Akan tetapi, selama ini tidak ada perlakuan khusus bagi mereka ketika menjalani perkuliahan. Perlakuan terhadap mereka ketika pembelajaran disamakan dengan mahasiswa non difabel. Kadang-kadang terjadi perbedaan karena adanya perbedaan pelayanan dosen terhadap mereka. Namun secara kelembagaan, universitas belum mengeluarkan aturan resmi terkait dengan pelayanan universitas terhadap mahasiswa difabel tersebut,” paparnya.

Terkait mahasiswa difabel netra tersebut, Zamakhsari kembali mengungkapkan, mahasiswa difabel netra adalah mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan memiliki keterbatasan penglihatan. Mereka memiliki ciri-ciri fisik yang hampir menyerupai orang dewasa. Secara fisiologis terjadi perkembangan kepribadian menuju kematangan yang dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor lingkungan. “Tentu terdapat keterbatasan yang dimiliki oleh mahasiswa difabel netra dalam menempuh pendidikan di UIN Sunan Kalijaga. Mereka telah memasuki usia dewasa secara perkembangan, namun keterbatasan fisik bisa jadi penghambat perkembangan emosi dan kemampuan belajar,” jelasnya.

Zamakhsari menambahkan, kondisi diri mahasiswa difabel netra yang terbatas dibanding mahasiswa normal lainnya, dan realitas temuan pendahuluan ditemukan bahwa mereka sangat ingin mencapai kesuksesan sebagaimana mahasiswa-mahasiswa yang normal pada umumnya. Akan tetapi, kondisi lingkungan belajarnya belum bisa menciptakan peluang yang bisa dilakukan oleh para mahasiswa difabel netra, untuk mencari potensi-potensi dirinya. “Karena itulah pihak universitas atau institusi pendidikan manapun yang memiliki mahasiswa difabel netra, harus meningkatkan pelayanan akademik dari dosen kepada mahasiswa difabel netra dengan menerapkan metodologi pembelajaran yang sesuai dengan pola belajar berdasarkan regulasi diri mereka. Regulasi diri yang dimaksud adalah situasi ketika mahasiswa yang menjadi penguasa atau menentukan pembelajaran mereka sendiri. Jadi mahasiswa difabel netra itulah yang menentukan pembelajarannya namun tetap dengan mendapatkan monitor dari para dosennya dalam mencapai tujuan akademis dan memotivasi diri mereka, mengelola bahan-bahan pelajaran mereka dan mengambil keputusan serta tindakan pada semua proses pembelajaran mereka,” ungkap Kepala Bgaian Tata Usaha Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SUKA Jogja.

Selain itu, Zamakhsari juga menyarankan agar pengelola mahasiswa difabel netra atau dalam hal ini Pusat Studi Layanan Difabel (PSLD) bisa memberikan orientasi pengenalan kampus yang memberikan informasi penggunaan berbagai layanan yang memandirikan para mahasiswa difabel netra. “Dan ikut membantu dalam membimbing atau memantau penggunaan berbagai fasilitas pembelajaran dan kampus. Jadi pada intinya, universitas yang memiliki mahasiswa difabel netra itu harus memberikan pelayanan khusus pada mereka dan tidak bisa disamakan dengan mahasiswa normal lainnya,” tegasnya.

Sidang promosi doktor tersebut turut dihadiri Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc. selaku ketua sidang, Dr. Muhammad Anis, M.A. selaku sekretaris sidang, Prof. Dr. Siswanto Masruri, M.A, Prof. Dr. Sutrisno, M.Ag, Prof. Dr. Usman Abubakar, M.A., Dr. Tasman Hamami, M.A., Dr. Muhammad Nurul Yamin, M.Si., selaku penguji. Berdasarkan keputusan promotor, dan tim penguji dalam sidang tersebut, Zamakhsari berhasil menyandang gelar doktor Ilmu Psikologi Pendidikan Islam dengan predikat “sangat memuaskan” dengan nilai A. Tujuan dari disertasi tersebut, Zamakhsari mengatakan bahwa disertasi tersebut bertujuan untuk menemukan pola regulasi diri dalam belajar mahasiswa difabel netra UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Hevi)