Berita

Pengalaman Diskriminasi Agama, Wisudawan Terbaik UMY : Ada Satu Hal Berbeda yang Saya Dapat di UMY

Anisa Suratni Indriyati atau akrab disapa Indri mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa Jepang (PBJ) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berhasil meraih predikat wisudawan terbaik se-Universitas periode IV 2021/2022. Berangkat dari masa kecil yang acap kali dikucilkan pun diremehkan karena memiliki perbedaan latar belakang agama di keluarganya, menurutnya menyelesaikan studi di UMY bukan saja menyoal capaian akademiknya yang nyaris sempurna. Namun, capaian juga tantangan tersendiri menempuh studi di salah satu institusi berlabel Islam.

“Awalnya diminta orang tua masuk jurusan Ekonomi dan Bisnis di universitas negeri. Ternyata daftar SNMPTN tidak lolos, SBMPTN sampai mandiri juga tidak lolos. Sampai dikenalkan dengan UMY yang notabene sekolah berbasis Islam. Tentu ini menjadi tantangan berat bagi saya yang takut jika ditimpali materi keagamaan. Karena dulu waktu SD pernah mendapatkan diskriminasi agama dari guru dan sangat menyakitkan,” jelas Indri perempuan asal Kebumen ini, saat ditemui tim Humas UMY pada Senin (13/6).

Di tengah bising suara hujan, Indri menceritakan diskriminasi agama yang pernah dialaminya. Pasalnya, sikap diskriminatif dapat membuat seseorang membatasi hak-hak orang lain. Semasa duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), ia sempat menerima perlakuan tersebut tiap kali menghadapi mata pelajaran agama, karena ragam agama yang dimiliki keluarganya.

“Memang kemampuan agama saya tidak sempurna, tapi ini sangat terlihat bagaimana seorang guru memberikan nilai pada saya. Padahal teman-teman saya juga banyak yang kemampuannya seperti saya tapi nilai mereka selalu aman. Hanya karena orang tua saya memiliki keyakinan yang tidak sama dengan saya,” ungkap Indri dengan sedikit kesal. Hal serupa bahkan juga dirasakan lebih dulu oleh keempat kakak kandungnya yang juga duduk di sekolah yang sama.

Pengalaman diskriminasi agama yang pernah dialami, membuatnya berpikir kembali apakah universitas pilihannya menjadi pilihan tepat yang nyaman. Ia khawatir kemampuan keagamaan miliknya tidak dapat menyeimbangi label UMY yang notabene sebagai perguruan tinggi Islam.

“Duh masuk UMY, yang lain pasti sudah pinter ngaji sedangkan saya bisa baca huruf arab sudah bersyukur. Jadi khawatir masuk UMY karena perguruan tinggi Islam. Kalau SD, SMP, SMA masih bisa cerita ke orang tua yang bisa jadi kekuatan, kalau kuliah berbeda. Takut ditolak oleh lingkungan dan khawatir tidak punya teman,” ucapnya.

Meski universitas negeri tidak menjadi capaiannya, setidaknya universitas Muhammadiyah bisa mengantarkan perempuan pecinta novel ini mewujudkan salah satu keinginannya, yakni mendapatkan tempat berkembang dan belajar agama tanpa adanya perlakuan mengucilkan satu sama lain.

“Gara-gara diskriminasi itu akhirnya dapat tekanan dan berpikir ingin belajar agama dengan serius yang bisa membuat saya yakin dalam hati. Jadi, ada benarnya juga masuk UMY, setidaknya ada satu hal berbeda yang bisa saya dapat dari kuliah di sini yaitu belajar agama. Dan ini saatnya memperbaiki semua agama saya,” lanjut wisudawan terbaik yang juga hobi melukis ini lagi.

3 tahun lebih 6 bulan seorang anak bungsu ini membuktikan bahwa kehadirannya menempuh studi di UMY merupakan sebuah kesyukuran bukan lagi seperti yang dikhawatirkan. “Pihak kampus mengajarkan tanpa melakukan diskriminatif. Beda dengan yang sudah-sudah. Jika tidak bisa disalahkan dengan kalimat seperti ‘kamu kok nggak bisa?’, ‘kamu nggak pernah ngaji ya’? Sedang ini tidak, dan saya salut. Selama ikut mata kuliah agama Islam dan kemuhammadiyahan, melakukan kegiatan keislaman di kampus jadi tidak takut, justru ada kemauan untuk belajar. Jadi sekeras apapun halangan tidak terlalu terasa,” tutupnya. (NSN)