Merayakan Idul Adha bersama keluarga dan warga kampung sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat Indonesia. Prosesi menyembelih dan memotong hewan qurban bersama-sama di masjid atau kampung, juga sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Obrolan ringan hingga canda tawa bersama hampir selalu menghiasi prosesi menyembelih dan memotong hewan qurban di Indonesia. Bahkan memasak daging qurban bersama atau “nyate bareng” juga menjadi tradisi yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Muslim Indonesia.
Tradisi masyarakat Muslim Indonesia saat Idul Adha ini rupanya cukup berbeda dengan negara Muslim lainnya, seperti Palestina. Hal ini diceritakan langsung oleh Ahmed Ismail, peserta Summer Course International Program of Communication Studies (IPCOS) UMY 2022 asal Gaza, Palestina. Ahmed, sapaan akrabnya, mau tak mau harus merayakan Idul Adha kali ini dalam kondisi yang jauh dari keluarganya di Palestina.
“Ini pertama kalinya bagi saya merayakan Eid jauh dari keluarga saya, jauh dari Palestina juga. Tapi itu bukan menjadi sesuatu yang mengganggu untuk saya merayakan hari raya di sini,” kata Ahmed saat dihubungi pada Kamis (14/7).
Pengalaman menarik pertama yang dirasakan Ahmed adalah saat sebelum shalat Idul Adha dilaksanakan, tepatnya saat masih di waktu Subuh. Ia bercerita jika suasana saat itu mengingatkannya akan kampung halamannya di Gaza, Palestina. “Saat ini saya tinggal di asrama mahasiswa milik UMY, dan saat terbangun saya mendengar kumandang takbir dimana-mana. Saya langsung menepuk-nepuk teman saya dan mengatakan rasanya kita seperti di Palestina,” kenang Ahmed.
Ahmed juga memuji pelaksanaan shalat Idul Adha di Indonesia. Ia menyebut pelaksanaan shalat Idul Adha di Indonesia lebih teratur dan terorganisir. “Saya sangat kagum sekali dengan pelaksanaan shalat Eid di sini, kalian sudah menentukan siapa yang akan menjadi Imam shalat, Khatib, Muadzin dan lain-lainnya sebelum pelaksanaan Eid itu sendiri, sedangkan kami di Palestina tidak melakukan demikian. Shalat Idul Adha di Indonesia sangat terorganisir karena mungkin di setiap masjid di Indonesia memiliki dewan kepengurusan yang formal juga,” terangnya sambil tersenyum kagum.
Saat akan melakukan shalat Idul Adha, menurut Ahmed orang Palestina akan pergi ke masjid di sekitar rumah mereka masing-masing, kemudian bertakbir bersama. Mereka belum menentukan siapa yang menjadi khatib, muadzin ataupun Imam sehingga mereka menunggu seseorang untuk secara sukarela menawarkan diri ataupun menunjuk seseorang untuk menjadi bagian tersebut. Ahmed juga menyebutkan jika kalender Hijriyah yang ditetapkan Muhammadiyah dalam menentukan hari raya juga sama dengan kalender Hijriyah yang digunakan oleh umat muslim di Gaza. Perayaan Idul Adha di Indonesia dan Palestina menurutnya juga memiliki beberapa kesamaan, seperti mengunjungi keluarga atau kerabat dan membagikan uang. Dan yang menarik, umat muslim di Gaza merayakan Idul Adha selama 3 hari.
“Di Palestina kami merayakan Idul Adha selama 3 hari berturut-turut, selama 3 hari semua makanan serba daging qurban. Karena pada hari-hari biasa daging yang kami makan itu hanya daging ayam. Kami akan mengunjungi keluarga kami dan juga memberikan kerabat kami uang,” tutur Ahmed.
Ia juga menegaskan bahwa pelaksanaan qurban serta pendistribusian daging qurban di Palestina berbeda dengan Indonesia. Jika pada umumnya pelaksanaan qurban di Indonesia dilakukan di masjid atau mushollah dengan dikoordinir oleh pengurus masjid hingga pembagian daging qurbannya, maka hal tersebut berbeda dengan yang umumnya dilakukan di Palestina. Di Palestina, setiap individu yang melakukan qurban akan memotong hewan qurbannya sendiri di rumah, kemudian daging akan diambil sebagian untuk dikonsumsi lalu dibagikan kepada orang lain. Ahmed menuturkan bahwa dalam pembagian daging qurban, warga di sana akan membagikan kepada siapa saja yang ia kenal, tak hanya orang miskin, tetapi siapa saja yang dikehendaki oleh orang yang berqurban tersebut.
Sama halnya dengan perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia, Palestina juga memiliki tradisi memberikan Tunai Hari Raya (THR) yang disebut Eidiyah, yang hanya diberikan pada keluarga atau kerabat yang memiliki anak perempuan. “Hari raya adalah hari yang paling ditunggu oleh anak perempuan di Palestina, karena mereka akan menerima banyak uang dari kerabat atau keluarga. Di Palestina, hanya anak perempuan yang menerima uang dan laki laki yang memberi. Terkadang aku harus bekerja extra sebelum hari raya karena aku mempunyai banyak saudari,” ujarnya sambil tertawa.
Ahmed juga mengatakan jika hari raya adalah salah satu hari terbaik untuknya karena menurutnya hari raya adalah waktu terbaik untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Rumah-rumah akan dipenuhi kerabat dan keluarga yang sudah tidak lagi tinggal serumah dengannya. “Di Palestina jika wanita yang menikah umumnya tidak akan tinggal berasama orang tuanya lagi, saat hari raya mereka akan kembali berkunjung untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, dan ini sangat menyenangkan. Wanita dalam keluarga akan bersama-sama menyiapkan makanan untuk hari raya sedangkan anak laki-laki hanya memotong daging,” sambungnya.
Dengan nada bersemangat, Ahmed juga menjelaskan ragam makanan khas yang disajikan saat hari raya di Palestina. Jika makanan khas pada hari Raya di Indonesia adalah sate dan opor, maka di Palestina makanan khas yang dimasak pada saat hari Raya adalah Maftoul dan Maqlubah. “Wallah Maftoul dan Maqlubah adalah makanan yang enak sekali yang disajikan di hari raya, kamu harus mencobanya,” sahutnya.
Ia juga memuji Indonesia sebagai negara yang nyaman untuk dikunjungi serta bertekad untuk melanjutkan S3nya di Indonesia. “Indonesia memberikan impresi yang bagus terhadap saya, masyarakatnya hangat juga murah senyum membuat saya merasa nyaman untuk tinggal di sini. Meskipun terkendala komunikasi, namun keramahan warga lokal membuat saya ingin belajar bahasa sehari-hari yang kalian gunakan. Oh iya saya juga berencana akan melanjutkan studi S3 saya di Indonesia doakan saja semoga Allah memberikan saya kesempatan di sini,” harap Ahmed.
Selain mendapatkan pengalaman unik dalam penyelenggaraan Hari Raya Idul Adha di Indonesia, Ahmed dan teman-teman Palestina lainnya dalam program Summer Course IPCOS UMY 2022 ini juga mengikuti kegiatan sedekah sampah di Masjid Al Muharram Bantul pada 3 Juli lalu. “Masya Allah, ini sesuatu yang baru bagi kami. Para relawan gerakan sampah di masjid memberikan kesempatan bagi siapapun bersedekah tidak hanya dengan uang namun juga bisa memberikan botol plastik bekas,” ujar Ahmed. Para peserta juga terpukau ketika Ananto Isworo selaku founder Gerakan Sedekah Sampah menjelaskan bahwa dana sumbangan dari botol tersebut diberikan kepada masyarakat sekitar masjid tanpa melihat agama yang dianutnya. “Masih ada muslim di Indonesia yang memberikan bantuan karena alasan kemanusiaan bukan melihat perbedaan, apalagi gerakan ini juga memberikan kesempatan bagi orang miskin ikut bersedekah meski hanya dengan sampah plastiknya,” ungkap Ahmed dengan semangat. (RM)