Berita

Pengelolaan Dana Desa Harus di Evaluasi

Sebagai usaha meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa, pemerintah memberikan perhatian lebih dengan mengalokasikan secara khusus Dana Desa. Pemanfaatan Dana Desa tersebut cukup rumit untuk dilaksanakan, selain karena jumlah desa di Indonesia yang mencapai angka lebih dari 74 ribu juga karena banyaknya peraturan yang tertera dalam pengelolaan dana yang pada tahun 2017 mencapai angka 60 triliun tersebut. Kemudian juga dari fakta banyaknya kasus korupsi yang terjadi dalam penggunaan Dana Desa tersebut membuktikan perlu adanya inovasi dan solusi dalam mengatasi berbagai tantangan yang muncul dalam program Dana Desa. Untuk membahas fenomena tersebut, program studi Ilmu Pemerintahan (IP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melakukan seminar dengan tema Korupsi dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Desa. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Jumat (23/11) di Ruang Sidang Gedung Kasman Singodimedjo kampus terpadu UMY.

Dr. Suswanta, M.Si., dosen IP UMY, selaku narasumber menyampaikan bahwa dengan adanya Undang-Undang Desa, terdapat kemajuan positif yang terjadi. “Dalam cakupan akademik, saat ini desa tidak lagi dianggap sebagai isu pinggiran namun berubah menjadi topik yang seksi untuk dibicarakan. Dana desa juga disambut secara antusias oleh warga dan menjadikan kegiatan desa menjadi lebih dinamis akibat dana pembangunan yang besar. Program tersebut memicu beberapa desa mengembangkan potensi desanya, contohnya adalah Desa Ponggok di Klaten yang menjadi destinasi wisata yang ramai dikunjungi. Namun ini hanya terjadi di sedikit desa dan masih sangat mengandalkan faktor kepemimpinan yang progresif dan secara umum sistem yang ada belum mampu meratakan pencapaian tersebut,” ujarnya.

Suswanta menyebutkan terdapat kontradiksi yang terjadi dalam pengelolaan program Dana Desa. “Utamanya pengelolaan desa ada di bawah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kemendesa RI). Namun ternyata dalam Dana Desa ada belasan instansi lain yang juga ikut andil dalam mengelola program tersebut dan masing-masing memiliki tipologi pengembangan desa yang berbeda. Kehadiran banyaknya instansi tersebut berpotensi menambah kerumitan dan bahkan ketakutan dalam mengelola Dana Desa. Hal tersebut juga berimplikasi pada minimalnya substansi dan fungsi pembinaan yang harus diberikan kepada desa,” jelasnya.

Suswanta menekankan bahwa fakta terjadinya masalah dalam pengelolaan Dana Desa tidak terjadi akibat kesalahan internal saja. “Banyaknya peraturan dalam Dana Desa membuat pengelolaannya sangat rumit, ini menjadikan banyak aparat desa yang kemudian enggan atau takut untuk membuat keputusan dan hanya menjadi pelaksana proyek yang dari atas. Padahal belum tentu proyek tersebut sesuai dengan potensi desa dan juga aspirasi masyarakatnya. Lalu banyak dari pendampingan desa yang dilakukan sebagai bagian dari Dana Desa yang hanya mengutamakan pencarian data untuk laporan dan pelaksanaan proyek, dibandingkan dengan edukasi dan mengorganisir desa tersebut. Implikasinya sangat mungkin terjadi bentrokan antara kepentingan masyarakat dengan regulasi dan prioritas dari atas,” paparnya.

Suswanta menyebutkan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, mulai dari menyinergikan kedua kementerian utama yang membawahi desa hingga memberikan regulasi yang lebih utuh untuk pengelolaan desa. “Selain itu saya rasa perlu juga untuk mengembalikan mekanisme pengawasan Dana Desa ke musyawarah desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan partisipasi masyarakat desa itu sendiri,” ujarnya kemudian.

Penanganan Korupsi

Alexander Marwata, Ak., S.H., CFE., Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – RI, selaku narasumber selanjutnya juga membahas perlunya perubahan kebijakan dalam penanganan Dana Desa, terutama dalam pemidanaan kasus korupsi. “Kasus korupsi untuk Dana Desa terbukti terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa sejak tahun 2015 hingga semester awal 2018 terdapat 181 kasus korupsi dalam program tersebut dengan total kerugian mencapai 40 miliar,” ujarnya.

Banyaknya kasus yang terjadi tersebut menurut Alexander menjadikan beban negara dan pihak lainnya lebih berat ketika harus memproses dan menanggung seluruh perkara yang terjadi. “Beban yang saya maksud adalah kerugian yang disebabkan oleh kasus korupsi tersebut. Misalnya ketika terjadi kasus korupsi dan pelakunya harus menjalani penyidikan, ada biaya yang keluar ketika aparat hukum melakukan aktivitas tersebut. Belum lagi kalau ternyata pelaku melakukan korupsi di wilayah desa yang terpencil, mendatangkan pelaku dan saksi serta bukti juga akan mengeluarkan biaya. Apalagi kalau ternyata nilai yang di korupsi tidak seberapa besar, ini tentu akan membuat negara mengeluarkan biaya yang lebih besar hanya untuk mengejar dana yang dikorupsi dengan besaran tak seberapa tersebut,” ungkapnya.

Alexander mengungkapkan bahwa tidak hanya kerugian materiil saja yang terjadi akibat korupsi, tapi juga kerugian sosial yang bahkan bisa berpuluh kali lipat biayanya dibandingkan nilai korupsinya. “Ini yang sangat mungkin dialami oleh masyarakat dimana kasus Dana Desa terjadi dan akibatnya aktivitas ekonomi menjadi tidak optimum. Saya ingin mekanisme penanganan korupsi tersebut jauh lebih efektif, misalnya untuk korupsi dana yang kecil, satu juta misalnya, pelakunya diminta mengembalikan dananya saja lalu dipecat dan dilarang untuk berpartisipasi dalam kegiatan program Dana Desa,” tandasnya. (raditia)