Dengan mayoritas penduduk yang menganut agama Islam, kontroversi mengenai boleh atau tidaknya kepemimpinan perempuan mengemuka sejak era reformasi yakni saat Megawati Soekarnoputri hadir menjadi perempuan presiden pertama di Indonesia menggantikan Abdurrahman Wahid yang lengser. Pro dan kontra mengenai adanya kepemimpinan perempuan berasal dari berbagai lapisan masyarakat dan kalangan; mulai dari para penggiat politik hingga kalangan non-politik. Isu ini dibahas dalam agenda diskusi bertajuk Mariposa Immawati yang diadakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan mengangkat tema Sejarah Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam.
Menanggapi isu tersebut sebagai pembicara dalam agenda diskusi yang digelar secara daring (dalam jaringan) pada Senin (06/06), Dr. Nur Azizah, M.Si., Dosen Ilmu Hubungan Internasional, berpendapat bahwa kurangnya partisipasi perempuan di dalam dunia politik disebabkan oleh adanya stereotype atau pelabelan dari masyarakat dimana perempuan masih memiliki kapabilitas yang kurang untuk menjadi seorang pemimpin. Adanya pelabelan ini juga bisa mengkonstruksi pemikiran perempuan itu sendiri. Selain itu, pembagian peran di masyarakat antara laki-laki dan perempuan menjadi sebuah domestifikasi yang membuat perempuan tidak bisa menjadi pemimpin untuk umum.
Menurutnya pola pikir seperti ini sudah menjadi culture yang bisa menunda kemajuan. Namun, hal ini bisa diubah dengan adanya kesediaan untuk membuka pikiran atau menjadi open minded. “Keterlibatan perempuan dalam politik sangatlah penting karena bisa menciptakan kebijakan yang ramah perempuan. Contohnya saja perempuan memiliki kebutuhan dasar yang penting seperti menyusui namun saat ini sulit untuk melakukannya di semua tempat karena minimnya fasilitas. Ini terjadi karena para pemimpin yang menjadi penentu kebijakan masih menganggap hal ini kurang penting,” jelasnya.
Lebih lanjut, Azizah menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin perempuan harus memiliki kapasitas umum seperti cerdas, menguasi bidang, dan kritis, serta memahami instansi yang ingin dipimpin termasuk ukuran kemajuan instansi dan permasalahan yang ada di dalamnya. Selain itu untuk menjadi pemimpin, perempuan juga harus memiliki keberanian untuk menepis stereotype yang ada. “Perempuan harus berani melawan arus, berani mendapat kritik, dan visioner. Jangan merasa lemah dan percaya diri. Selain itu, hal penting lain adalah untuk menjadi pemimpin harus memiliki forum dan memiliki uang, dalam hal ini uang merupakan manifestasi dari power,” pungkasnya. (ays)