Makna Pemilu (Pemilihan Umum) dalam UUD 1945 terjadi perkembangan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1), ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112, terjadi keputusan MK dalam menetapkan terjadinya pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan serentak, yang mana semula dilakukan terpisah. MK mengabulkan uji materi UU tersebut, dalam hal pemilihan umum serentak yang akan mulai berlaku pada pemilu 2019 mendatang. Dalam kesempatan pada acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan (PK2P) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (17/10) bertempat di Gedung Ar Fachrudin A lantai 5, sebagai keynote speech, Dr. Anwar Usman, SH., M.H selaku Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI mengungkapkan, salah satunya harapan dengan adanya pemilu serentak, yaitu sebagai bahan untuk menjadikan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia dalam hidup berdemokrasi.
Dilakukannya pemilu serentak tersebut ditujukan sebagai penguatan sistem presidensial yang sesuai rancang bangun sistem ketatanegaraan yang kini ini dianut UUD 1945 pasca perubahan. Selain itu diharapkan dengan adanya pemilu serentak dapat menciptakan efisiensi dalam beberapa hal, pertama, diharapkan dapat menghemat uang negara untuk pembiayaan penyelenggaraan pemilu, sehingga penghematan anggaran dana untuk penyelenggraan pemilu tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan pembangunan negara, utamanya untuk kesejahteraan rakyat, kedua, pemilu serentak diharapkan dapat mengurangi pemborosan waktu dan pengurangan konflik, ataupun gesekan-gesekan horizontal ditengah-tengah masyarakat. “Kemudian yang ketiga, pemilu serentak dapat dijadikan sebagai penididikan politik bagi masyarakat untuk dapat menggunakan hak pilihnya dengan cerdas. Selain itu, MK dalam hal ini memutuskan Pemilu serentak berdasarkan pemikiran yang sistematis, dan dramatikal, dalam memaknai rasa demokrasi,” jelasnya.
Menurut Dr. Anwar, perkembangan demokrasi dan pemilu di Indonesia harus dimaknai secara positif, karena perkembangan tersebut telah melahirkan kompleksitas pelaksanaan sistem, yang mana terjadinya pemilu tidak hanya terjadi pada proses pemilihannya saja, melainkan dalam terjadinya penyelesaian sengketa pemilu juga turut diperhatikan. “Guna mencapai hasil pemilu yang diharapkan, dibutuhkan kerjasama seluruh ornamen-ornamen negara terkait penyelenggaraan pemilu, seperti KPU, Bawaslu, DKPP, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan MK, keseluruhan ornamen negara tersebut harus bersinegri dalam mensukseskan penyelenggaraan pemilu, demi terjaganya kedaulatan rakyat,”ucapnya.
Dr. Anwar Usman menambahkan, bagi peserta pemilu, hendaknya juga harus memahami amanah berupa jabatan yang akan diemban kelak, baik itu ditingkat legistatif, maupun eksekutif, harus dipertanggungjawabkan, baik pertanggungjawaban di dunia, maupun di akhirat kelak. “Pertanggungjawaban yang harus diemban oleh peserta pemilu tidaklah mudah, karena segala sesuatu bentuk tugas dan pelaksanaan yang akan dilakukan, akan ditanggungjawabkan tidak hanya di dunia, melainkan juga di akhirat kelak,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Dekan Fakultas Hukum UMY, Mukhtar Zuhdy, SH.,MH menuturkan, terselenggaranya Seminar Nasional tersebut diharapkan dapat menjadi jihad politik bagi para akademisi, karena dibutuhkan keterlibatan peran para akademisi, baik itu dosen, maupun mahasiswa dalam menciptakan peningkatan rasa demokrasi di masyarakat. “Masih marak terjadi cacat demokrasi yang terjadi di masyarakat terkait pemilu, salah satunya yaitu politik uang (money politic), diharapkan dengan adanya pemilu serentak tersebut akan mengurangi cacat politik di masyarakat, sehingga dapat menciptakan pemilu yang berkualitas dan akuntabel,” ungkapnya.