Belakangan ini, Indonesia sedang berada dalam suasana politik yang sangat bergejolak. Pihak-pihak yang bertarung di pangung politik kerap kali mengeluarkan pernyataan atau tindakan yang dapat menimbulkan perpecahan di Tanah Air. Untuk itu, Muhammadiyah memilki peran penting sebagai penengah dan selalu melakukan dakwah politik sosial agar masyarakat tidak megalami perselisihan yang dapat menimbulkan perpecahan.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, M.Hum. menjelaskan bahwa Muhammadiyah dapat berjalan hingga saat ini dan tidak pernah mengalami perpecahan karena memiliki ideologi yang dipegang teguh oleh anggotanya, yaitu Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH Muhammadiyah).
“Nilai-nilai fundamental yang ada di dalam MKCH itu sejalan dengan Alqur’an dan sunah, sejalan juga dengan Pembukaan UUD 45 yang telah diterapkan dan sudah berlangsung lama. Tetapi memiliki hambatan dalam sektor publik, kalah cepat dengan sistem politik yang transaksional. Sehingga MKCH tidak dapat tersebar dengan baik di masyarakat luas,” ujarnya saat menjadi pebicara di Pengajian Ramadan Dosen dan Pejabat Struktural di Kampus Terpadu Iniversitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Selasa (21/5).
Busyro pun mengatakan bahwa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) harus dapat memiliki pengaruh yang signifikan dalam hal sosial, politik, dan dakwah kepada lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya.
“Diskusi lintas fakultas yang dilakukan oleh dosen bahkan mahasiswa harus bisa menyentuh permasalahan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Setelah itu kita lihat, apakah dapat mengubah struktur permasalahan yang ada atau tidak,” imbuhnya.
Selain pertarungan politik yang tidak sehat, tindak pidana korupsi juga menjadi momok yang serius di pemerintahan Indonesia. Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu menjelaskan bahwa terdapat tiga penyebab korupsi. Pertama demoralisasi struktur sosial kemasyaraktan, dalam hal ini adalah keluarga. Kedua demoralisasi struktur, sistem, dan proses-proses politik yang meliputi partai politik dan birokrasi negara. Terakhir ialah pragmatisme masyarakat yang terus meningkat.
Peran elit partai politik atau pegawai pemerintah kerap kali menggunakan politik uang untuk melakukan berbagai hal seperti rekuitmen anggota, praktik suap yang terjadi dalam Pilkada, pemilihan anggota legislatif, dan juga Pemilu. Pebisnis juga sering kali menjadi aktor dalam terjadinya prakti haram ini. “Oligarki bisnis dan oligarki politik memengaruhi oligarki birokrasi,” kata Busyro.
Sebagai penutup, ia mengatakan bahwa Muhammadiyah bersama masyarakat Indonesia harus bisa menjadi pengawas bagi pemerintah sesuai dengan ketentuan negara yang berlaku dan juga mendukung siapa pun yang menjadi presiden Republik Indonesia. “Jika UUD 45 kita terapkan sesungguhnya kita sangat membantu pemerintah. Siapapun presidennya Muhammadiyah dalam hal ini harus mendukung,” pungkasnya.(ak)