Tidak lama lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih orang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga calon presiden serta calon wakil presiden. Guna mendulang suara yang melimpah, sejumlah partai politik (parpol) yang menjadi peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 berupaya memikat hati berbagai lapisan masyarkat. Tidak terkecuali para mahasiswa yang memiliki peran besar dalam perolehan suara, sebanyak 40 persen. Demi mendapatkan pendidikan politik yang cocok bagi para mahasiswa, Korsp Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (Komap) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan diskusi yang menghadirkan 7 orang perwakilan organisasi pergerakan mahasiswa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Rabu (19/9) di Gedung K.H Ibrahim kampus terpadu UMY.
Ketujuh orang tersebut berasal dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO Cabang Kota Jogjakarta, Gerakan Manasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kota Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) DIY, Forum Sekolah Bersama (Sekber) Yogyakarta, Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia (KAMMI) DIY, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) DIPO Cabang Kota Jogjakarta. Tema yang diusung pada diskusi kali ini adalah “Peran Organisasi Pergerakan Terhadap Pendidikan Politik di Maysarakat”.
Suyoto yang menjadi wakil dari IMM DIY mengatakan bahwa pendidikan politik kepada masyarakat seharusnya dilakukan oleh parpol. Namun, pada kenyataannya parpol di Indonesia hanya muncul ketika menjelang pemilu saja, dan kemunculan mereka bukan untuk memberikan pendidikan politik secara jelas dan berkelanjutan melainkan hanya untuk mencari simpati masyarakat agar memilih calon yang diusung oleh mereka. “Parpol di Indonesia bisa diibaratkan seperti seseorang yang mendorong mobil mogok. Ketika mobil tidak berjalan politisi memanggil rakyat untuk membantu mendorong mobil. Tetapi ketika mobil itu sudah menyala, orang yang membantu pasti ditinggalkan,” ujarnya.
Sementara itu, Hasan M. Thaib sebagai perwakilan dari Forum Sekber memaparkan bahwa pendidikan politik bagi masyarakat sangat diperlukan, supaya bisa selektif dalam memilih pemimpin. Selain itu Hasan pun mengatakan bahwa mahasiswa memiliki andil yang besar dalam proses pendidikan politik terhadap masyarakat. “Masyarakat harus mendapatkan pemahaman mengenai politik, supaya tidak tertipu ketika elit politik berbondong – bondong datang menawarkan visi, misi serta janji. Sebagai kaum terpelajar, mahasiswa harus melek terhadap isu politik yang ada di negeri ini, agar bisa membantu masyarakat yang awam,” tutur Hasan.
Generasi milenial yang saat ini menjadi mahasiswa sangat sering mengakses media sosial di berbagai tempat dan waktu. Sementara itu, terdapat banyak sekali konten di media sosial mengandung berita bohong atau hoax terkait isu politik. Oleh karena itu, Rais Kaharuddin yang menjadi perwakilan dari KAMMI DIY mengingatkan kepada seluruh mahasiswa untuk bisa memilih dan memilah informasi yang tersebar di media sosial. “Sekarang, banyak sekali informasi bohong yang tersebar melalui media sosial. Untuk itu, kawan – kawan sekalian harus bisa menyaring informasi dengan baik,” pungkas Rais.
Di akhir diskusi, seluruh perwakilan dari anggota pergerakan yang hadir menyatakan bahwa organisasi mereka tidak akan berpartisipasi dalam politik praktis 2019. Tetapi, mereka akan tetap melakukan pendidikan politik kepada mahasiswa dan masyarakat umum tentunya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan kader HMI, M. Irfan Fakhri bahwa organisasi mereka tidak akan ikut campur untuk memenangkan salah satu parpol yang berpartipasi dalam pemilu 2019. “Organisasi kami tidak akan turut serta dalam politik praktis besok, akan tetapi kami akan selalu memberikan pemahaman politik kepada masyarakat agar tidak termakan janji palsu para elit politik,” tutupnya.(ak)