Kabut asap yang melanda Indonesia belakangan ini, terjadi akibat pembakaran hutan. Sedangkan pembakaran hutan sendiri dalam Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan diperbolehkan oleh negara. Dalam pasal 69 ayat 1 (h) berbunyi : Setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Sedangkan pada ayat 2 pasal yang sama disebutkan : “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing”. Yang dimaksud dengan kearifan lokal pada ayat dua tersebut adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Secara teknis, pasal tersebut dapat menimbulkan dua permasalahan sekaligus. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum., dalam Diskusi Publik “Kupas Tuntas Bencana Asap di Indonesia” pada Selasa (3/10) di Ruang Sidang Pascasarjana UMY. Ia menyebutkan permasalahan yang dimaksud adalah, pertama dalam konteks maksimal 2 hektare untuk masing-masing kepala keluarga. “Jika satu kepala keluarga diperbolehkan melakukan pembakaran atas 2 hektare lahan, jika banyak kepala keluarga yang melakukannya maka total lahan yang dibakar akan menjadi berpuluh-puluh hektare bahkan ratusan,” terangnya.
Sedangkan permasalahan kedua ada pada konteks pembolehan pembakaran lahan untuk kepentingan penanaman varietas lokal dan harus dikelilingi oleh sekat bakar saat lahan dibakar. “Permasalahan ada pada pengawasan poin tersebut. Jika pihak pemerintah benar-benar melakukan pengawasan terhadap kepentingan penanaman varietas lokal tersebut, tentu tidak akan banyak masyarakat yang melakukan pembakaran lahan. Namun permasalahannya ada pada kurangnya pengawasan pemerintah terkait hal tersebut,” terang Dr. Yeni.
Ia menambahkan bahwa pemerintah yang dimaksud adalah kepala desa. Sedangkan kepala desa sendiri tentu memiliki keeratan hubungan dengan masyarakat sehingga pengawasan ketat tidak akan mungkin terjadi.
Sehingga dengan ketidakoptimalan Undang-Undang yang telah dibuat, baik tentang kehutanan maupun perlindungan dan pengelolaan hidup sudah selayaknya dilakukan reformulasi ulang. Jika tidak direformulasi, maka pembakaran hutan dan lahan-lahan gambut, kedepannya masih akan terus terjadi dan berulang. “Jika undang-undang itu tidak direvisi atau direformulasi, maka pemerintah akan dianggap menyetujui salah satu penyebab adanya kebakaran hutan di Indonesia,” tutup Dr. Yeni.
Saat ini sendiri, Muhammadiyah juga sedang berupaya mendorong pemerintah untuk melakukan revisi undang-undang yang telah ada. Disampaikan oleh perwakilan Muhammadiyah Disaster Management Center, Rahmawati Husein, Ph.D. bahwa saat ini Muhammadiyah telah membentuk Jihad Konstitusi dan mengharapkan pemerintah segera melakukan revisi Undang-Undang. Pasalnya dengan adanya kebakaran hutan yang menyebabkan bencana asap, hal ini telah banyak memberikan kerugian kepada masyarakat Indonesia terutama dari sektor Sosial-Ekonomi.
“Kerugian secara ekonomi antara lain sepertinya melemahnya sektor perdagangan, sektor transportasi mengalami kemacetan dengan banyaknya penerbangan yang batal, hingga pada produksi pada tanaman yang menurun karena tidak adanya matahari selama berbulan-bulan di daerah bencana asap,” jelas Rahmawati.
Hingga saat ini, ia menyebutkan bahwa MDMC telah memberikan bantuan dalam sektor pemulihan ekonomi dan sosial seperti pembangunan children center bagi anak-anak agar dapat belajar di ruang bebas asap, pemberian bantuan medis bagi pasien penderita ISPA dan lain sebagainya. Ia menjelaskan bahwa selain membawa dampak buruk pada kerusakan ekosistem, bencana asap juga merusak sumber daya manusia dan sistem kehidupan sosial yang telah berjalan.
Ia menambahkan bahwa bencana asap di Indonesia pada tahun 2015 ini diperparah dengan bencana El-Nino yang sedang terjadi di dunia. Perubahan iklim drastis dan keterlambatan datangnya musim hujan juga menjadikan penanganan kabut asap menjadi lambat. Namun yang perlu masyarakat Indonesia wasapadai adalah pada Desember mendatang, Rahmawati menyebutkan akan tiba bencana El-Nina dimana hujan besar akan terus menerus terjadi dan bahkan badai. Sedangkan kawasan bekas hutan yang telah terbakar tentu akan membawa dampak banjir saat El-Nina terjadi. Sehingga masyarakat diharapkan benar-benar sadar akan manfaat hutan dan penanaman pohon untuk keberlangsungan ekosistem dan tidak merusaknya lagi di masa mendatang. (Deansa)