Berita

Percepat upaya diversifikasi energi di bidang bioenergi, berikan subsidi untuk Bahan Bakar Nabati

Hingga saat ini penyediaan energi nasional masih didominasi oleh energi fosil yang di subsidi, sementara energi terbarukan yang low carbon belum banyak dimanfaatkan. Sekitar 95% sumber energi Indonesia masih berasal dari minyak bumi, gas dan batu bara. Indonesia juga tergolong negara yang boros energi. Disisi lain, Indonesia sebenarnya memiliki potensi bioenergi yang luar biasa untuk dikembangkan. Untuk itu, perlu diupayakan percepatan diversifikasi energi di bidang bioenergi, salah satunya dengan mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak BBM dan memberikan subsidi untuk Bahan Bakar Nabati (BBN).

Hal ini terungkap dalam Workshop on Good Practice on Bioenergy Project from Foreign Policy Perspective Fakultas Teknik UMY pada Sabtu (23/04) di Kampus terpadu UMY.

Menurut Dadan Kusdiana dari Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Indonesia berada pada iklim tropis sehingga sangat potensial untuk mengembangkan bioenergi. Untuk biomassa dari sampah saja, menurut Dadan, Indonesia memiliki potensi biomassa sampah yang menghasilkan sekitar 49,8 GW. Namun yang sudah dimanfaatkan masih sangat kecil 1,62 GW atau sekitar 3% saja.

Lebih lanjut Dadan menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki kebijakan-kebijakan yang cukup baik dalam bidang energi baru dan terbarukan. Hanya saja beberapa permasalahan dalam bidang perijinan, harga jual, kepastian usaha dan kelembagaan yang masih lemah menjadi penghambat dalam usaha pengembangan bioenergi.

Sementara itu, Dadan menambahkan isu global tentang perubahan iklim yang dikarenakan adanya penumpukan gas rumah kaca (GRK) di atmosfir akibat pembakaran energi fosil juga berdampak pada perubahan iklim secara global. Namun upaya pengurangan emisi GRK untuk sektor energi masih dilakukan secara sendiri-sendiri dan belum terintegrasi sehingga perlu disusun “Inisiatif Energi Bersih” sebagai upaya untuk menjamin ketersediaan energi dan mengurangi emisi GRK sektor energi.

Oleh karenanya, Ia mengungkapkan perlunya percepatan upaya diversifikasi energi di bidang bioenergi, diantaranya dengan mencabut subsidi Bahan Bakar Minyak BBM dan memberikan subsidi untuk Bahan Bakar Nabati (BBN) serta pengembangan biogas dengan pola subsidi.

Senada dengan Dadan, Geert Verbong pakar bioenergi dari Technische Universiteit Eindhoven Belanda, menyoroti pentingnya peran pemerintah, adanya lembaga operasional yang efektif dan kepemimpinan yang kuat dalam pengembangan bioenergi.

“Diperlukan desentralisasi kebijakan energi dan peningkatan peran komunitas untuk menumbuhkembangkan bioenergi. Peran pemerintah penting dalam mengembangkan bioenergi harus sesuai dengan konteks lokal. Gangguan politik dalam perencanaan dan pembangunan juga harus diminimalkan,” ungkapnya

Geert menyatakan bioenergi memiliki setidaknya beberapa keistimewaan. Bioenergi, dijelaskan Verbong, dapat dijadikan sumber energi lokal bagi penduduk setempat, bisa menjadi pengganti energi potensial bagi energi fosil dan bisa digunakan sebagai komoditi perdagangan pasar dunia beberapa tahun mendatang.

Ditempat yang sama, Edi Indrajaya dari pemerintah provinsi DIY menyatakan potensi pengembangan BBN di provinsi DIY menitiberatkan pada tanaman jarak pagar. Saat ini terdapat sekitar 80.721 Ha lahan potensial untuk pengembangan tanaman jarak pagar. Selain itu, pemerintah provinsi juga tengah mengembangkan desa mandiri energi dengan berbagai basis seperti biogas, angin, tenaga surya dan mikrohidro.

Sementara itu, Rektor UMY Ir. Dasron Hamid M.Sc menyambut baik kerjasama dalam bidang energi antara UMY dengan Technische Universiteit Eindhoven. Ia berharap hal ini dapat meningkatkan capacity building dalam pengembangan bioenergi yang murah dan ramah lingkungan.