Konsumsi rokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, bahkan jumlahnya pun fantastis hingga mencapai 240 miliar di tahun 2009 dari yang sebelumnya hanya 30 miliar batang pada tahun 1970. Angka ini jelas sudah berada pada tahap mengganggu dan meresahkan masyarakat. Namun, masih banyak masyarakat yang apatis dengan permasalahan rokok ini. Belum lagi dengan kerugian ekonomi yang diderita oleh masyarakat karena penyakit yang diakibatkan rokok. Sementara pemerintah seolah lebih mengutamakan pendapatan negara dari cukai rokok, dibanding kesehatan masyarakatnya sendiri.
Perguruan tinggi yang merupakan tempat pendidikan paling tinggi bagi generasi muda, seharusnya bisa membantu menanggulangi masalah rokok ini dengan ikut menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Selain itu, kampus juga cenderung menjadi sasaran utama industri rokok, sehingga jika insan kampus banyak yang merokok hal itu bisa menjadi promosi gratis bagi industri rokok. Karena itu perguruan tinggi perlu memelopori dan menciptakan gerakan untuk mengendalikan konsumsi rokok ini.
Demikian disampaikan Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M. Ec, selaku ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) saat menjadi pembicara dalam seminar dan workshop “Penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lingkungan Kampus”. Acara yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerjasama dengan APTISI ini, dilaksanakan pada Kamis (18/12) di Hotel Grand Zury, Yogyakarta. Dalam acara ini hadir pula Bambang Sulistomo, mantan staf ahli Kementerian Kesehatan RI dan Tinuk Istiarti, Dekan FKM Universitas Diponegoro (Undip).
Menurut Prof. Edy, perguruan tinggi jangan hanya menjadi institusi yang pasif dalam menghadapi masalah rokok tersebut. Dengan ikut menerapkan KTR, kampus sudah bisa dikatakan ikut terlibat aktif dalam penanganan dan pengendalian rokok. “Selain itu, perguruan tinggi se-Indonesia, khususnya PTS juga bisa melakukan berbagai penelitian dan pengembangan dampak pandemi produk tembakau di bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Hal ini untuk mewujudkan hak untuk hidup sehat serta mewujudkan generasi muda dan bangsa yang berkualitas dan berdaya saing,” paparnya.
Langkah lainnya yang bisa dilakukan perguruan tinggi, menurut Prof. Edy adalah dengan menolak tawaran beasiswa atau sponsorship dari industri rokok. “Perguruan tinggi harus menolak tawaran beasiswa atau sponsorship dari industri rokok. Ini juga sebagai bentuk pengendalian terhadap bahaya rokok. Peraturan ini juga sudah kami berlakukan pada semua PTS anggota APTISI, agar tidak lagi menerima tawaran beasiswa atau sponsorship dari industri rokok,” jelasnya.
Sementara itu, Bambang Sulistomo, mantan staf ahli Kementerian Kesehatan RI, mengatakan, konsumsi rokok saat ini sudah banyak terjadi di kalangan remaja, bahkan ada pula yang masih di bawah umur tapi sudah mengonsumsi rokok. Padahal, banyak dampak negatif bagi remaja yang mengonsumsi rokok. “Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja dan anak-anak yang merokok kemungkinannya akan menjadi pecandu narkoba 15 kali lebih besar dibanding yang bukan perokok, mereka juga kemungkinan akan menjadi pecandu alkohol 3 kali lebih besar,” paparnya.
Selain itu, dampak lainnya bagi remaja, lanjut Bambang, remaja dan anak-anak yang merokok akan menurun kecerdasan emosinya, menurun kemampuan untuk belajar dan berinteraksi dengan orang lain, serta lebih sulit beradaptasi dengan lingkungan sosial yang berubah.
Karena itulah, Bambang pun sepakat jika semua perguruan tinggi di Indonesia bisa menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tersebut. Di samping karena salah satu tujuan dari acara tersebut untuk mendorong perguruan tinggid di DIY dan Jawa Tengah agar bisa menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di kampusnya, juga sebagai bentuk kepedulian pada hak untuk sehat bagi masyarakat.