Perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak menghasilkan karya-karya penelitian yang bermanfaat dan bernilai. Namun, baru sedikit penelitian yang direspon oleh industri. Hal tersebut tidak terlepas dari komunikasi yang rendah antara perguruan tinggi dengan industri sehingga menyebabkan pertukaran informasi dan kerjasama menjadi sangat rendah. Seharusnya dengan fasilitas, kemampuan dan keahlian dalam berbagai bidang teknologi yang dimiliki oleh perguruan tinggi secara berkelanjutan mampu menjadi penggerak perekonomian yang berbasis teknologi. Selain itu memang sudah menjadi tugas perguruan tinggi untuk mendorong promosi ekonomi melalui pengembangan teknologi dan partisipasi aktif untuk mensejahterakan masyarakat.
Hal tersebut sebagaimana dipaparkan oleh Sigit Purwanto dari Institut Teknologi Bandung dalam kegiatan bertajuk “Strategi Memperoleh Paten dan Peluang Komersialisasi” pada Kamis (14/12) di Gedung Siti Walidah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dalam kegiatan Workshop Paten dan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) yang dilaksanakan oleh LP3M UMY tersebut dihadiri oleh dosen-dosen dari berbagai fakultas di UMY yang sudah dan sedang melakukan penelitian, serta sedang mencoba melihat peluang untuk memperoleh hak cipta maupun hak paten yang bisa dikomersialisasi demi kemaslahatan bersama. Selain itu, HKI dan Paten juga merupakan salah satu poin pertimbangan kualitas dari Institusi Perguruan Tinggi oleh Kemristekdikti.
Hak cipta dan Paten sendiri merupakan dua hal yang berbeda. “Hak cipta merupakan sesuatu yang pasti melekat pada ciptaan. Sedangkan hak paten merupakan hak inklusif yang diberikan negara kepada penemu atas temuannya dalam bidang teknologi. Hak paten sendiri dibagi dua yaitu hak paten lengkap dan hak paten sederhana. Hak paten lengkap memiliki ciri-ciri aplikatif, klaimnya lebih dari satu dan biasanya temuannya belum pernah ada sedangkan hak paten sederhana klaimnya hanya satu, merupakan perbaikan sistem lama tapi tetap sama harus aplikatif. Umur perlindungannyapun berbeda beda. Jika hak paten sederhana hanya berumur kurang lebih 10 tahun sedangkan hak paten lengkap berumur lebih lama yaitu sekitar 20 tahun,” ungkapnya.
Lalu timbulah pertanyaan bagaimana menciptakan kekayaan intelektual. Sigit menjelaskan bahwa untuk mendapatkan sebuah permasalahan maka perlu komunikasi dengan industri. “Yang disebut dengan networking atau jaringan itu memang cukup penting. Salah satunya adalah menemukan masalah yang bisa untuk diteliti menjadi kekayaan intelektual. Namun, timbul pertanyaan kedua apakah dari kekayaan intelektual tersebut bisa untuk dikomersialkan. ITB sendiri pernah gagal dalam hal tersebut dikarenakan prosedur administrasi untuk perguruan tinggi negeri yang harus mengikuti pemerintah,” tambahnya.
Selain permasalahan administrasi, Indonesia juga mengalami permasalahan lain diantaranya pendanaan untuk penelitian. “Ternyata Indonesia masih belum memiliki dana untuk melakukan penelitian yang bisa dikategorikan sebagai investasi karena takut gagal dan merugi, namun mungkin ini akan segera diperbaiki untuk kedepannya,” tuturnya kembali.
Sigit juga berpesan kepada para peserta bahwa nantinya ketika membuat sebuah karya penelitian perlu berhati-hati. “Di dalam semua aspek penelitian apalagi jika akan dikomersialkan perlu kehati-hatian dan trik-trik. Karena banyak oknum jahat yang sering memanfaatkan kesempatan. Maka dari itu sebelum memulai perlu dibentuk sebuah manajerial tim yang kuat serta networking yang luas dan baik pula,” sarannya.