Dewasa ini sangat sering terjadi pergolakan dalam pergaulan global, dan hal tersebut tercermin pada banyak keputusan yang diambil oleh pemimpin negara dalam menerapkan kebijakan luar negerinya. Menurut Dr. Lalu Muhamad Iqbal, Duta Besar RI untuk Turki, hal tersebut disebabkan karena lingkungan internasional saat ini berada dalam anomali dan ini mengharuskan negara-negara untuk bersikap dengan penuh pertimbangan. Hal tersebut disampaikan dalam Laporan Tahunan Rektor dan Pidato Milad Universitas Muhammadiyah (UMY) ke-38 yang dilaksanakan di Ruang Sidang AR Fachrudin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY, Kamis (28/3).
Alumni Hubungan Internasional UMY tersebut menyebutkan bahwa kondisi anomali tersebut terjadi akibat sistem lama yang berlaku pada pergaulan internasional sudah runtuh, akan tetapi sistem baru yang seharusnya menggantikannya tidak kunjung tiba. “Hasilnya seluruh konsep dan teori yang dikemukakan oleh para akademis HI dahulu kini harus diuji ulang kembali keabsahannya dan kita juga ikut terekspos di dalamnya. Agar kita tidak gamang dalam lingkungan yang anomali ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya kita tidak hanyut di dalamnya,” ungkapnya.
Lalu menyebutkan yang pertama untuk dipahami adalah mengenai kepentingan nasional, karena selama negara ada maka aspek tersebut akan selalu ada. “Negara yang akan survive dalam situasi anomali ini adalah negara yang paham betul akan kepentingan yang dia miliki. Sebaliknya ketika negara tidak tahu apa kepentingan, tujuan, dan misi mereka, maka dia hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi sebuah failed state (negara gagal) dan akan segera tergerus oleh arus. Bagian yang sulit adalah bagaimana menentukan apa yang menjadi kepentingan nasional kita. Karena untuk itu, mereka yang menjadi pengambil keputusan tersebut harus memahami betul denyut nadi dan degup jantung kehidupan bangsanya,” ujarnya.
Kemudian perlu disadari ada tarik menarik antara kepentingan nasional dan juga kepentingan korporasi. Hal tersebut merupakan pola yang terjadi dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri di setiap negara, dan faktanya banyak negara yang menjadikan kepentingan korporasi menjadi penentunya. “Apakah hal ini bisa dihindari? tidak. Yang bisa kita lakukan adalah mencari titik dimana gap antara dua kepentingan tersebut dapat terjembatani atau bahkan dapat berjalan selaras,” lanjutnya.
“Pola kebijakan luar negeri kita sudah ditetapkan jauh ketika negara kita pertama kali didirikan, oleh Mohammad Hatta tepatnya. Ia menyampaikan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia seperti berlayar di dua karang, artinya sangat penting bagi kita untuk mencegah terjadinya monopolaritas. Kepentingan Indonesia adalah memastikan adanya balance of power, untuk mendorong adanya lebih dari satu kekuatan agar semuanya berimbang. Dalam konteks ini kita adalah ummatan washatho yang tidak menepi ke salah satu karang,” paparnya.
Lalu menjelaskan sebagai negara yang besar, Indonesia memililki margin of error yang cukup luas, namun demikian hal tersebut bukan menjadi alasan untuk mengambil keputusan yang serampangan. “Menurut saya semakin besar margin of error-nya maka semakin besar pula keleluasaanya dalam mengambil keputusan. Karena itu jika kita mengamati perilaku Amerika Serikat ini akan menjadi penjelasan untuk berbagai kebijakan luar negerinya. Dil ain pihak Indonesia juga memiliki margin of error yang cukup luas, namun bermain dengan penuh kehati-hatian akan jauh lebih baik,” jelasnya.
Harapan Untuk UMY
Sebagai alumni, Lalu menyampaikan bahwa sebagai institusi UMY sudah mengalami kemajuan yang sangat besar dibandingkan di masa babat alas-nya. Karenanya UMY harus terus menjaga dan meningkatkan akuntabilitasnya sebagai perguruan tinggi berprestasi. “Dengan posisi UMY saat ini, akan ada banyak ekspektasi yang ditujukan kepada anda dari banyak pihak. Kredibilitas ini merupakan poin penting yang harus dijaga, dan salah satunya adalah melalui pengkhidmatan oleh setiap civitas akademika UMY. Terutama dalam pengahayatan UMY dalam menerapkan core value yang dimilikinya,” ujarnya.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Dr. H. Agung Danarto, M.Ag., Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa UMY harus menjadi pioneer dalam menjadikan dakwah Islam sebagai pembangun bangsa. “Agama harus selalu berinteraksi dengan ilmu pengetahuan dan realitas masyarakat, dan dengan itu Islam akan mampu membawa negara kepada kebaikan. Dalam hal ini, UMY harus dapat menjadi lokomotif yang membawa gerbong masyarakat untuk menuju baldatun thoyyibah,” pungkasnya.
Dalam acara Pidato Milad UMY ke-38 ini juga diumumkan pegawai berprestasi UMY. Penetapan pegawai berprestasi merupakan rutinitas kampus dalam satu tahun akademik untuk memberikan apresiasi atas kinerja dan dedikasi yang telah dilakukan. Untuk tahun ajaran 2018/2019 tim penilai yang terdiri dari dua tim dengan melibatkan Biro Sumber Daya Manusia (BSDM UMY) dan disetujui oleh pimpinan, menetapkan bahwa Dr. Dyah Mutiarin, S.IP., M.Si., Dr. Sukamta, S.T., M.T., Dr. Suryo Pratolo, S.E., M.Si., Akr., C.A., AAP sebagai pegawai berprestasi.
Seperti yang disampaikan oleh kepala BSDM UMY Rini Juni Astuti M.Si bahwa persyaratan untuk menjadi pegawai berprestasi adalah yang pertama memiliki jabatan fungsional, kedua dari nilai SKP (Satuan Kinerja Pegawai) yang mencakup semua kegiatan baik dari penelitian, pengabdian masyarakat, visiting scientist, publikasi karya ilmiah, join research, haki/paten, sertifikasi yang dimiliki, serta pelaksanaan catur dharma berupa Al-Islam dan KeMuhammadiyahan; apakah dia sebagai penceramah atau memiliki kontribusi di persarikatan. “Memang menjadi pegawai berprestasi tidak akan terlepas dari QS Star atau pemeringkatan universitas, bagaimana kontribusi dosen dalam proses belajar mengajar, sehingga dia bisa menghasilkan karya baik itu buku yang bisa jadi bahan ajar, publikasi karya ilmiah, dan susunan portofolio tentang semua hasil karya yang mereka miliki,” papar Rini ditemui di Gedung AR. Fachruddin A, Kampus Terpadu UMY. (raditia/habibi)