Peristiwa Mesir dan Libya hendaknya menjadi ajang introspeksi bagi para pemimpin dunia Islam. Dalam peristiwa Libya saat ini, hal terbaik yang perlu dipersiapkan adalah mempersiapkan transisi kekuasaan sebaik mungkin tanpa kehilangan respek masyarakat Libya terhadap Khadafy dan rezimnya.
Menilik sejarah, menurut pengamat politik dunia Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Sidik Jatmika, Libya dalam skala politik adalah ‘adik kandung’ Mesir. Dalam banyak hal, Libya sangat terinspirasi oleh Mesir. Moammar Khadafy, yang telah berkuasa di Libya lebih dari 41 tahun ini adalah pengagum berat Gamal Abdel Nasser, pemimpin legendaris Mesir. Khadafy sendiri dijuluki ‘Nasser Kecil’.
Selain itu, pola transisi kekuasaan yang terjadi di Libya serupa dengan apa yang terjadi di Mesir, yaitu sama-sama menggulingkan raja yang berkuasa. Di Mesir, Husni Mubarak menggulingkan Raja Farouk pada 1951 yang 18 tahun kemudian diikuti Libya dimana Moammar Khadafy yang memimpin Revolusi Al Fatah untuk menyingkirkan Raja Idris.
Dalam periode embargo Amerika terhadap Libya, Mesir mengambil peran strategis dalam membantu Libya dalam menyediakan akses masuk ke Libya. “Secara apapun, Libya tergantung dan terpengaruh pada Mesir” ungkap Sidik yang juga Dosen Hubungan Internasional UMY ini di ruang kerjanya, Kampus Terpadu, Selasa (22/2).
Terkait dengan kemungkinan kejatuhan Khadafy seperti yang terjadi pada Mubarak, Sidik Jatmika menjelaskan hal tersebut sangat mungkin. lebih lanjut Ia menjelaskan musuh terbesar Khadafy saat ini adalah usia. Khadafy saat ini berusia 68 tahun dan tidak lagi sekuat dulu. Selain itu, rakyat Mesir juga tidak sesolid belasan tahun lalu dalam mendukung Khadafi. “Cepat atau lambat Khadafy pasti jatuh” tegasnya.
Masih menurut Sidik, hal terbaik saat ini yang harus dilakukan Khadafy adalah mempersiapkan transisi kekuasaan sebaik mungkin tanpa kehilangan respek masyarakat Libya terhadap Khadafy dan rezimnya.
Ia juga menghimbau pemimpin-pemimpin Islam sebaiknya tidak berlindung dibalik simbol-simbol keislaman untuk mewujudkan tujuan yang tidak Islami. Memang benar demokrasi dan Islam tidak sama. Namun banyak nilai-nilai Islam dan demokrasi yang sama. Terutama nilai universal seperti kesejahteraan dan transisi kekuasaan. Pemimpin Islam yang baik adalah pemimpin yang mengimplementasikan nilai-nilai Islam bukan malah menyalahgunakannya untuk kepentingan yang tidak islami.
“Berkuasa lebih dari 30 tahun bukanlah sesuatu yang Islami. Peristiwa Mesir dan Libya sebaiknya menjadi ajang instrospeksi bagi para pemimpin dunia Islam” pungkasnya.
Seperti diberitakan, situasi yang kian memanas di Libya telah menewaskan lebih seratusan orang. Peristiwa Libya sendiri terinspiriasi oleh ‘Revolusi Melati’ di Tunisia dan ‘Revolusi Nil’ di Mesir yang sukses menggulingkan rezim yang tengah berkuasa.