Persoalan pinjaman online di Indonesia menjadi hangat perbincangan masyarakat. Selain hal tersebut menjadi trend baru untuk meminjam melalui transaksi elektronik, namun secara segi hukum perdata juga perlu diperhatikan bagi pihak penyelenggara financial technology lending untuk melakukan perjanjian sesuai dengan aturan POJK Nomor 77 POJK.01/2016. Hal tersebut diungkap oleh Guru Besar Bidang Hukum Perdata, Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie,S.H.,CN., saat dihubungi pada hari Senin (20/12).
Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie,S.H.,CN., Dosen Magister Ilmu Hukum UMY menjelaskan bahwa secara umum kegiatan fintech lending dilakukan melalui 2 macam perjanjian yaitu perjanjian pemberi pinjaman dan penyelenggara fintech lending dan yang kedua, antara antara penyelenggara fintech lending dengan yang menerima pinjaman.”Pada fintech lending sebenarnya sudah diatur dalam POJK Nomor 77 POJK.01/2016 mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis informasi. Sehingga seharusnya fintech memiliki perjanjian yang mengatur hubungan hukum antara: (1) pemberi pinjaman dengan penyelenggara fintech lending; (2) penyelenggara fintech lending dengan penerima pinjaman,” paparnya.
Menurut Prof. Jenie dalam perjanjian fintech lending yang tertulis berdasarkan pedoman OJK seharusnya ada mitigasi risiko dalam sebuah perjanjian yang dilakukan oleh pihak penyelenggara pinjaman.”Pada isi perjanjian tersebut selain membahas jumlah pembiayaan dan penggunaannya, jangka waktu, penarikan pembiayaan, kesepakatan bunga, pembayaran kembali, namun juga terdapat unsur penting yaitu adanya mitigasi risiko. Karena mitigasi risiko ini merupakan sebuah mitigasi konsulan yang selalu diminta oleh POJK dalam perjanjian pembiayaan,” tambahnya.
Prof. Jenie memaparkan bahwa perjanjian layanan penyaluran pembiayaan berbasis teknologi informasi ini perjanjian yang belum diatur secara khusus dalam undang-undang dan belum diberi nama secara resmi yang tercantum di undang-undang walaupun sudah diistilahkan oleh masyarakat.”Jika dalam perjanjian ada unsur pinjam meminjam maka hal tersebut sudah diatur dalam BAB 13 KUH Perdata pada perjanjian minjam meminjam, jadi menjadi suatu perjanjian yang bernama, akan tetapi untuk mengatakan bahwa perjanjian layanan penyaluran pembiayaan itu merupakan suatu layanan pinjam meminjam yang tercantum pada Bab 13 KUH Pedata juga sulit karena perjanjian penyaluran pembiayaan itu memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam yang diatur oleh KUH Perdata,” jelasnya.
Selain itu, pada perjanjian yang dilakukan oleh fintech lending merupakan jenis perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang dan dasar hukumnya hanyalah peraturan diberikan oleh OJK.”Oleh karena itu, dengan karakteristik perjanjian fintech lending merupakan perjanjian dibawah tangan karena bentuknya tidak ditetapkan oleh undang-undang dan dibuat tanpa campur tangan pada pihak yang berwenang, maka agar merujuk dengan kesesuaian hukum pihak penyelenggara fintech lending harus benar-benar melakukan sebuah perjanjian pinjam meminjam berdasarkan pedoman yang berlaku, yaitu sesuai dengan POJK Nomor 77 POJK.01/2016,”tutupnya.(Sofia)