Berita

Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban Menjadi Kunci Penegakan Hukum Indonesia

Pada tahun 2017 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berhasil menyelesaikan kasus kejahatan sebanyak 181.448. Kasus yang diselesaikan pada tahun 2017 mengalami penurun dari tahun sebelumya yang berjumlah 380.862 kasus menjadi 291.748. Keberhasilan ini tidak lepas dari kesaksian para saksi dan korban dari tindakan kejahatan. Tetapi, masih banyak kasus yang belum terselesaikan dikarenakan banyak dari saksi dan korban enggan memberikan informasi kepada tim penyidik karena merasa tidak mendapatkan jaminan keamanan dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan para saksi atau korban kerap mendapatkan teror dari pelaku tindakan kejahatan. Melihat kejadian seperti itu, maka dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada tahun 2008 berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban .

“Ketika suatu tindak kejahatan terjadi, banyak pihak yang mengalami kerugian, mulai dari kerugian fisik, materi dan juga psikologi. Korban menjadi pihak yang sangat dirugikan atas tindakan kejahatan, dan saksi pun menjadi kunci dari terselesaikannya suatu kasus kejahatan. Maka dari ini, Negara Republik Indonesia membentuk LPSK yang bertujuan untuk melindungi saksi dan korban dari berbagai ancaman, serta memberikan hak – hak mereka,” ujar Dr. Abdul Haris Semendawai, SH., LL.M yang menjabat sebagai Ketua LPSK Republik Indonesia saat menyampaikan kuliah umumnya di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Jumat (9/11) di Ruang Sidang Rektor Gd. AR. Fachruddin A. UMY.

Di hadapan puluhan mahasiswa Fakultas Hukum, Abdul mengatakan bahwa terdapat 3 tindakan kejahatan yang rawan terjadi ancaman atau intimidasi terhadap para saksi, yaitu kasus terorisme, kekerasan seksual kepada anak, dan perdagangan manusia. Ia pun menambahkan bahwa korban dari perdagangan manusia dan tidakan kekerasan seksual merasa malu untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya dikarenakan merasa malu apabila kasus ini menyebar ke masyarakat. “Pada tahun 2018, terhitung sejak bulan Januari sampai Juni terdapat 189 permohonan perlindungan dari kasus kekerasan seksual anak. Sedangkan pada rentang waktu yang sama LPSK menerima 59 permohonan dari kasus perdagangan manusia. Kemudian pada kasus terorisme, saksi atau korban selalu memohon perlindungan dari kami, karena jaringan pelaku terorisme tidak segan – segan untuk menghabisi nyawa mereka,” imbuhnya.

Pada pasal 5 ayat (1), saksi dan korban memiliki hak antara lain perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta serta bebas dari berbagai ancaman, memberi keterangan tanpa merasa tertekan, mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus, dirahasiakan identitasnya dan mendapatkan biaya transportasi. “LPSK selalu mengupayakan saksi dan korban untuk mendapatkan hak mereka. Kami juga berhak untuk mengganti identitas seseorang atas dasar keamanan,” tutur Abdul.

Jumlah pemohon dari saksi dan korban mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, terhitung pada tahun 2008 terdapat 10 pemohonan dan terus meningkat hingga ada 1901 permohonan pada tahun 2017. Seluruh pemohon itu akan mendapatkan berbagai layanan seperti medis, psikologi, fisik, fasilitas restitusi, fasilitas kompensasi, psikososial, dan pemenuhan hak procedural.

“Kami berharap lembaga kami selalu bisa memberikan perlindungan terhadap korban dan saksi dari berbagai kasus di negara ini, supaya ribuan kasus yang tercatat di kepolisian bisa diselesaikan dengan baik tanpa ada pihak yang dirugikan,” pungkasnya.(ak)