Perusahaan-perusahaan eksportir Indonesia masih memerlukan edukasi tentang regulasi pasar ekspor Amerika Serikat. Banyak persoalan terkait dengan persyaratan perdagangan lintas negara yang belum dipahami oleh eksportir Indonesia, seperti quality standart and restrictions, persyaratan lisensi, shipping, perlunya agen sebagai penghubung dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan volume ekspor Indonesia-Amerika masih rendah, setara dengan angka perdagangan Amerika dengan Panama, sebuah negara kecil di Amerika Selatan.
Demikian yang disampaikan oleh James Mullinax, Economic Councelor dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta dalam Public Lecture “Indonesia-USA Relations: Opportunities and Challenges Under Jokowi Administration“, kerjasama America Institute for Indonesian Studies (AIFIS) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) dan Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI-UMY), yang diadakan di Ruang Sidang AR. Fachruddin B. lantai 5 UMY, Selasa (14/10).
Edukasi yang dimaksud oleh Mullinax seperti pelatihan teknis perdagangan antar negara, mendorong kewirausahaan, pengenalan market Amerika dan lain sebagainya. Menurutnya “banyak pengusaha Indonesia yang memiliki ide bagus dalam pengembangan usaha dan produk andalannya, namun tidak tahu referensi dan cara mencari pasarnya di Amerika”. Untuk melaksanakan program edukasi tersebut universitas adalah partner strategis bagi Amerika.
Mullinax juga menambahkan terpilihnya Jokowi – JK dalam Pemilu Presiden pada medio Juli 2014 yang lalu, merupakan peluang emas bagi hubungan ekonomi dua negara. Apalagi Jokowi berkomitmen untuk menjalankan diplomasi ekonomi yang lebih menekankan pencapaian kesejahteraan rakyat melalui aktivitas ekonomi. Hal ini tentu semakin membuka peluang kerjasama lebih luas dengan AS sebagai mitra ekonomi utama, baik dalam bidang investasi maupun perdagangan.
Terlebih di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Indonesia dan AS telah meluncurkan Kemitraan Komprehensif AS-Indonesia pada November 2010. Kerjasama ini berfokus pada isu energi, keamanan, perdagangan dan investasi, demokrasi, masyarakat madani, pendidikan, serta isu iklim dan lingkungan hidup. “Di bawah payung kerjasama ini, Jokowi akan dapat memanfaatkan secara maksimal kesempatan perdagangan dan investasi dengan AS, sekaligus mengembangkan kerjasama di luar isu ekonomi yang membawa kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia,” imbuh Mullinax lagi.
Selain itu berbeda dengan Mullinax, menurut dosen Hubungan Internasional Dr. Nur Azizah, M.Si menjelaskan bahwa ada 3 pilar yang harus difokuskan dalam hubungan antara Indonesia-Amerika yaitu meliputi kerjasama politik dan keamanan misalnya seperti anti komunis atau anti ISIS, kerjasama ekonomi dan peningkatan teknologi. “Tiga pilar yang harus difokuskan dalam hubungan antara Indonesia-Amerika yaitu yang berkaitan dengan Politik dan keamanan, misalnya sama-sama menolak ISIS, kerjasama ekonomi dan teknologi” jelasnya.
Azizah juga menambahkan bahwa, ketertarikan hubungan antara Indonesia-Amerika karena Indonesia adalah salah satu negara dengan sistem demokrasi ke-3 terbesar di dunia dan dengan penduduk muslim terbanyak, dan Amerika sendiri adalah negara super power sehingga saling berhubungan sangat penting bagi kedua negara ini untuk memberikan pengaruhnya dalam berbagai bidang.
Sedangkan menurut Peneliti LP3M yang juga Dekan Fisipol UMY Ali Muhammad, Ph.D. adanya pasang surut hubungan diplomasi antara Indonesia dan Amerika juga bisa dilihat dari perspektif pergantian kepemimpinan nasional.
Ali menjelaskan hubungan kedua negara itu dipengaruhi oleh isu internasional dan isu domestik, untuk isu internasional misalnya Ali menjelaskan bahwa adanya pengaruh Amerika dalam isu Papua dan isu-isu terkait dengan konflik Israel dan Palestina. “Sedangkan untuk isu domestik adanya parlemen Indonesia yang dikuasi oleh partai-partai oposisi yang dapat berpeluang menghambat kebijakan pemerintahan Jokowi yang bisa berpengaruh terhadap hubungan Indonesia-Amerika,” ungkapnya.