Berita

Perlu Gagasan Baru Untuk Selesaikan Masalah Maritim Indonesia

IMG_9965
Yohanes Kristiarto S. Legowo selaku Sekertaris Jendral Kemenlu saat memberikan sambutannya dalam acara Penandatanganan MOU dan Forum Diskusi “Peluang dan Tantangan Indonesia Menuju Negara Maritim” di UMY

Visi dan misi Indonesia yang ingin mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia (global maritime axis) saat ini masih dalam perkembangan. Seperti deklarasi yang dijelaskan oleh Presiden Jokowi pada sidang pleno Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Myanmar International Conventional Center yang menyatakan bahwa ada 5 poros yang akan menjadi acuan Indonesia menuju global maritime. Lima poros itu terdiri dari budaya maritim, kedaulatan pangan di laut, insfrastruktur yang berkaitan dengan konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan kekuatan pertahanan maritim.

“Tercetusnya lima poros itu didorong adanya kesadaran pemerintah dan masyarakat Indonesia bahwa masalah maritim, adalah hal penting yang harus menjadi salah satu policy (kebijakan) kehidupan Bangsa dan Negara. Dengan banyaknya masalah maritime yang sudah terlalu panjang dihadapi oleh Indonesia ini maka, perlu adanya gagasan baru untuk menyelasaikan masalah-masalah yang terkait dengan kemaritiman, “ terang Yohanes Kristiarto S. Legowo selaku Sekertaris Jendral Kemenlu saat memberikan sambutannya dalam acara Penandatanganan MOU dan Forum Diskusi “Peluang dan Tantangan Indonesia Menuju Negara Maritim” pada hari Jumat (9/10) di Ruang Ampithetar Gedung Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Yohanes menambahkan, permasalahan kemaritiman yang terjadi di Indonesia ini pun perlu mendapat perhatian dari kalangan akademisi. Dengan perhatian yang mereka berikan tersebut tentunya dapat memunculkan sebuah ide atau gagasan baru, untuk membantu menyelesaikan permasalahan maritim Indonesia. “Karena itulah, kami berharap dengan adanya forum diskusi bersama kalangan akademisi seperti ini dapat memunculkan sebuah ide atau gagasan baru terkait dengan kematirimannya. UMY sebagai center of excellent baik di dalam negeri maupun internasional dapat ikut bergabung untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia ini. Selain itu, niatan baik ini akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan negara tercinta ini ke depannya,“ harapnya.

Di sisi lain, M. Harjono Kartohadiprojo, pakar transportasi laut Universitas Indonesia yang juga menjadi pembicara dalam forum diskusi tersebut mengatakan, dalam hal perdagangan antar negara, sampai saat ini laut masih menjadi jalur lintas barang dagangan dunia. Salah satunya adalah Selat Malaka yang menjadi jalur lalu lintas 40% barang dagangan dunia, yang setiap tahunnya di lalui 19.245,7 juta ton dan 15,2 juta barrel minyak mentah dan petro product setiap harinya. “Wajar jika Selat Malaka ini dinobatkan menjadi Checkpoint ke-2 tersibuk setelah Hormuz yang dilalui petro product 17 juta barrel per harinya. Wilayah Indonesia memiliki 4 Checkpoint (Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar-Selat Lombok, dan Selat Wetar-Selat Timor) yang merupakan urat nandi perdagangan dunia. Bila terjadi masalah di kawasan lautan Indonesia, maka akan menimbulkan masalah bagi perekonomian dunia. Untuk itu, pemerintahan Indonesia harus membentuk “Lembaga Pengaturan Lalu Lintas Pelayaran di Perairan Indonesia” yang berguna untuk mengatur scedhule kapal-kapal yang akan melalui lautan Indonesia, “ jelas M. Harjono Kartohadiprodjo saat memberikan materinya.

Masalah lain yang muncul, lanjut Harjono, adalah terkait dengan pemerataan kesejahteraan yang sering mengalami kendala. Pertama, biaya angkut negeri yang terlalu mahal dan tidak adanya kesinambungan jadwal. Kedua, biaya pelabuhan dan penyelesaian dokumen yang memakan waktu lama. “Untuk menciptakan tarif angkutan yang ekonomis, maka besar kapal harus disesuaikan dengan kebutuhan muatan yang diangkut serta perlunya biaya pelabuhan berikutnya. Kemudian peralatannya dan harga pembelian kapal juga menjadi biaya yang perlu diperhitungkan. Hal ini sangat diperlukan, mengingat bahwa pelayaran memiliki dampak yang luas untuk membangkitkan usaha yang padat di masyarakat dan urat nadi perdagangan,“ jelasnya.

Karena pelayaran menjadi urat nadi perdagangan, maka tak heran jika sering terjadinya perebutan wilayah laut yang dilakukan oleh beberapa negara, salah satunya Indonesia dengan Malaysia. Sebagaimana diungkapkan oleh I Made Andi Arsana, Ph.D, Dosen Biodesi Universitas Gadjah Mada (UGM). “Ada yang perlu diketahui bahwa, pengklaiman yang terjadi antar 2 negara tersebut bukan hanya terjadi baru-baru ini saja, namun sudah terjadi sejak lama sampai akhirnya munculnya Deklarasi Djuanda yang akhirnya laut Indonesia mendapat pengakuan dunia terkait dengan wilayah lautnya. Kembali ke masalah Malaysia dan Indonesia, sebetulnya sampai saat ini batas wilayah laut antara Malaysia dan Indonesia belum tercetus. Karena, kedua negara tersebut masing-masing saling mengklaim daerahnya masing-masing. Jadi, masalah ini bukan adanya pelanggaran batas wilayah tetapi memang sampai saat ini belum ada deklarasinya,“ tegasnya.

Namun di sisi lain, tambah I Made, penambahan wilayah ini didorong dengan kekuatan diplomasi atau kekuatan SDM-nya. Dengan kata lain, perluasan batas wilayah laut Indonesia ini juga didukung dengan SDM-nya. “Jika ditarik benang merah SDM ini merupakan sebuah kunci menuju kemaritiman Indonesia yang harus segera diwujudkan. Kalau perlu setiap mata kuliah diajarkan terkait dengan kemaritiman. Hal ini menurut saya penting untuk membangun identitas bangsa ini yang merupakan bangsa maritim yang berdaulat. Deklarasi Djuanda ini juga menjadi sebuah acuan bagi kita, bahwa kita perlu memiliki kader-kader Djuanda untuk dapat menemukan gagasan baru terkait dengan kemaritiman,“ tambahnya.