Berita

Perlu Penanganan Yang Jeli Dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada

IMG_0717Indonesia sebentar lagi akan disibukkan dengan penyelenggaran Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara serentak di beberapa daerah, tepatnya di 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 36 Kota. Peraturan tentang pemilihan ini sudah tercantum pada Penetapan Perpu No.1 Tahun 2014. Namun, sebagaimana pengalaman yang terjadi, tentu saja dalam pelaksanaan Pilkada ini tidak selamanya akan berjalan dengan mulus tanpa adanya beberapa sengketa dan masalah yang terjadi. Karena itulah, perlu adanya penanganan yang jeli dalam menyelesaikan sengketa Pilkada yang mungkin saja akan terjadi ke depannya.

Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Nasrullah, S.J., A.Ag., M.CL selaku dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat menjadi pembicara dalam Advance Training penyelesaian sengketa pilkada, yang diselenggarakan atas kerjasama DPP Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia), DPD Ikadin Yogyakarta, Fakultas Hukum UMY dan Tahir Foundation, pada Rabu (18/11) di ruang sidang Ar. Fachruddin A lantai 5 Kampus Terpadu UMY. Dalam pemaparannya, Nasrullah mengungkapkan bahwa pada setiap sengketa yang biasanya terjadi dalam pilkada, pasangan calon (paslon) biasanya akan menggugat jika hasil pilkada tidak sesuai dengan keinginannya. Sengketa-sengketa inilah yang biasanya akan menjadi penghambat dalam memutuskan hasil pilkada. Karena dalam proses penyelesaian perselisihan tersebut tidak bisa dilakukan secara serentak pula, ada beberapa tahapan dan proses yang harus dilakukan dan hal itu akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. “Secara umum, sengketa tersebut terjadi karena adanya benturan kepentingan, misalnya sengketa pada Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP). Namun, jika dilihat lebih jeli lagi, potensi sengketa pemilihan bukan hanya terjadi pada PHP tetapi juga pada tahap persiapan dan penyelenggaraan pemilihan. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan sengketa pilkada ini harus dilakukan secara jeli dan melihat keseluruhan penyebab potensi sengketa,” papar Nasrullah.

Dosen Fakultas Hukum UMY ini kembali menjelaskan, bahwa sengketa yang terjadi seperti PHP, terjadi karena adanya perselisihan antara KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan peserta mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan. “Penetapan hasil ini tentu saja bisa mempengaruhi penetapan calon untuk maju ke putaran berikutnya atau penetapan calon terpilih. Karena tidak terima maka paslon akan mengajukan gugatan ke MK. Mengingat pilkada bukanlah rezim pemilu, MK telah memutuskan kewenangannya menyelesaikan sengketa PHP adalah inkonstitusional, “ jelasnya.

Sementara itu, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Nasrullah S.H., M.H juga mengungkapkan bahwa ketika MK bertugas sebagai penerima gugatan dan memutuskan pilkada serentak, berbeda lagi dengan Bawaslu yang bertugas dalam mengawasi pemilu pilkada serentak. “Sengekta PHP tetap menjadi kewenangan MK dan sengketa Pilkada pasti akan berujung di MK. Tapi, sayangnya saat ini MK malah mengubah dirinya sebagai Mahkamah Kalkulator. Karena, MK lebih bermain dengan data, siapa yang datanya paling kuat dan banyak dia yang akan menang. Setiap ada Pilkada bukan hanya satu saja yang melaporkan tetapi ada banyak jumlahnya, bayangkan saja jika ada 260 titik yang melakukan gugatan ke MK, maka itu semua harus diselesaikan satu persatu, tak heran jika MK lebih bermain data sekarang. Berbeda dengan Bawaslu, yang lebih substansi dalam menyelesaikan sengketa, “ ungkapnya.

Lagi pula, lanjutnya, ini berpengaruh pada pendekatan-pendekatan yang dipilih oleh Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa. “Orang-orang yang bekerja di Bawaslu ini dari berbagai macam bidang bukan 1 bidang saja, jadi dalam menentukan pertimbangannya lebih luas tidak semata-mata pada masalah hukum jadi lebih kaya dan menarik. Untuk alur penyelesaian sengketa ini ada beberapa tahap yaitu kelengkapan administrasi, penetapan kesepakatan dengan cara musyawarah, kemudian pengambilan keputusan. Dari beberapa kasus yang sering terjadi terkait dengan PHP adalah adanya kecurangan dalam pengambilan suara, misalnya dengan adanya Paslon yang menggunakan serangan fajar sebelum pemilu, “ lanjutnya.

Dalam menanggapi sengketa semacam ini Bawaslu sendiri sudah mempunyai cara agar sengeketa ini tidak berlarut-larut. “Ketika ada Paslon terlapor atau melaporkan, Bawaslu akan mencoba mengecek bantuan sosial atau dana hibah yang diterima Paslon ketika melakukan kampanye. Kemudian mencermati dan mempelajari anggaran kampanye Paslon dari tahun ke tahun, jika terjadi kelonjakan anggaran berarti ada yang tidak beres. Biasanya ini bisa terjadi karena adanya faktor pendekatan antara Paslon dengan Gubernur. Sampai saat ini Bawaslu melakukan audit di beberapa daerah untuk menanggulangi adanya sengketa, “ papar Nasrullah.