Permasalahan gender merupakan masalah yang tidak ada habisnya. Banyak isu-isu yang muncul kemudian tertuju pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Padahal sebetulnya kesetaraan gender ini bukan melulu pada perempuan dan laki-laki namun, kesetaraan gender ini juga sebenarnya terjadi pada kelompok-kelompok rentan atau kelompok minoritas.
“Kemunculaan persoalan gender ini muncul ketika pada abad ke-19 di Prancis, di mana ketika itu upah yang didapat oleh laki dan perempuan saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang kemudian memunculkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Selain itu faktor biologis ini juga dijadikan sebagai titik tolak awal kemunculan gender,“ jelas Anggoro Budi Prasetya selaku Direktur LSM Aksara yang ketika itu menjadi pembicara dalam acara diskusi terbuka dengan tema ““Menentang” Determinasi Biologis Pada Gender”, pada hari Selasa (27/5) di Taman Batu Gedung D Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Anggoro menjelaskan, Gender akan tetap menjadi persoalan sebab hal ini terkait dengan ketidakadilan antara peran laki-laki dan perempuan. Seperti contoh ketika seorang perempuan bergabung atau memutuskan untuk menggeluti di ranah politik maka kesetaraan perempuan dengan laki-laki akan berbeda. Perempuan akan berada pada level dua, hal inilah yang kemudian muncul. “Selain itu perempuan sering mengalami stereotype pandangan negatif, misalanya ketika adanya kekerasan seksual maka ada 2 cara pandang yang berbeda. Pertama, adanya kesalahan dari si pelaku, yang kedua, kesalahan dari korban. Namun yang sering kita jumpai adalah kesalahan itu muncul dari si korban atau perempuan yang memiliki peran terjadinya kekerasan seksual. Padahal jika kita telaah kembali si pelaku sebenarnya juga punya alasan penyebab kekerasan seksual itu bisa terjadi,“ jelasnya.
Persoalan gender akan menjadi isu yang sangat sensitif ketika isu itu dikaitkan dengan pesoalan agama. Perlu adanya kebijakan dalam memikirkan isu gender ini, sebenarnya isu gender ini hanya terkait dengan kesetaraan yang dialami oleh laki-laki dan perempuan. “Kesetaraan itu, adanya kemudahan akses yang diberikan oleh laki-laki dan perempuan untuk memajukan dirinya. Hal ini penting karena dengan diberikan akses yang mudah maka perempuan memiliki tempat yang sama untuk bisa meningkatkan potensi yang ada pada dirinya. Ini menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki ruang yang sama untuk bisa berpartisipasi,“ paparnya.
Isu terkait dengan gender ini, lanjut Anggoro, akan berubah seiring dengan waktu dan budaya yang berkembang di masyarakat. Karena itu, tentunya perlu adanya perubahan mindset yang dilakukan oleh masyarakat sekitar, yang masih mengganggap perempuan itu sangat lemah dan hanya mengurus domestik sedangkan laki-laki berurusan pada publik. “Masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa kodrat seorang perempuan itu adalah memasak, mencuci, dan mengurus anak. Padahal secara pengertian, kodrat adalah sesuatu hal yang muncul dari Tuhan dan tidak bisa diubah misalnya mengandung dan melahirkan. Perlu ditekankan bahwa memasak dan mengurus anak itu bukan kodrat tetapi keterampilan. Namun bukan berarti kita bisa melupakan tugas kita sebagai ibu adalah mengurus dan menghormati suami. Dalam urusan rumah tangga sebenarnya antara suami dan istri itu bisa saling membantu satu sama lain,“ tegasnya.
Anggoro menambahkan bahwa, ketika seorang suami pergi membeli beras di pasar maka akan dianggap aneh oleh masyarakat sekitar atau lingkungan sosial. Padahal dalam keluarga tersebut tidak ada masalah jika suami membeli beras ke pasar. “Budaya atau pola pikir inilah yang harus kita ubah, bahwa ketika laki-laki melakukan pekerjaan rumah akan dianggap menyalahi kodrat sebagai laki-laki,“ tambahnya.
Hal yang sama pun diungkapkan oleh Firly Annisa, MA selaku dosen Ilmu Komunikasi UMY dan juga peneliti Rumah Sinema saat menjadi pembicara dalam acara tersebut. Menurutnya, konsep gender ini bukan milik perempuan tetapi juga milik laki-laki. Feminis bukan milik perempuan tetapi laki-laki, masalahnya adanya pematenan tunggal dari lingkungan sosial bahwa perempuan itu feminis dan laki-laki itu maskulinitas, sehingga muncullah pelabelan yang terjadi di lingkungan sosial. Untuk itu harus ada yang dikendarai oleh perempuan untuk bisa menunjukkan kualitasnya. Misalnya ketika ada kebijakan bahwa 70% beasiswa akan diberikan kepada perempuan, kebijakan itu yang bisa diambil untuk menyetarakan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang akademis, dengan begitu ini tidak akan menyalahkan kodrat yang ada.
Firly juga mengatakan, perlu adanya keterbukaanaan antara dogma agama dan juga konteks sosial, karena dalam kesetaraan gender ini tidak ada yang dirugikan. “Inti dari kesetaraan adalah tidak ada yang mendominasi dan tidak ada yang didominasi. Keduanya harus saling memberi, intinya keadilan gender itu sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki oleh keduanya. Jadi ketika seorang istri memutuskan untuk berhenti bekerja atas kemauannya, ya itu bukan permasalahn gender lagi, tetapi ketika itu ada paksaan inilah yang kemudian menjadi tidak ada keadilan. Yang terpenting saat ini perlu adanya pengetahuan yang baik karena pengetahuan merupakan kunci dari segalanya,“ tutupnya.