Konsumsi rokok di Indonesia sebagaimana yang dikutip dari data the tobacco Atlas 2015, menempatkan Indonesia pada posisi ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India. Dilihat dari jumlah perokok di Indonesia hingga mencapai 50.6 juta orang, meningkat secara pesat untuk semua umur dari tahun ke tahun. Pada pemaparan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan AIK, Hilman Latief,Ph.D mengatakan bahwa upaya menghentikan kebiasaan merokok diperlukan perjuangan dan kerja keras. Hal tersebut karena perokok menjadi sebuah budaya yang biasa dilakukan oleh masyarakat, terlebih kelas menengah ke bawah.
“Merokok sudah menjadi sebuah budaya di Indonesia. Oleh karena itu, dalam perkembangan saat ini telah banyak pendekatan bagaimana tradisi merokok bisa dikurangi. Dan ini dibutuhkan perjuangan yang keras, karena tidak mudah meninggalkan budaya merokok. Selain budaya, banyaknya jumlah perokok juga dipengaruhi dari iklan rokok yang semakin beragam. Bahkan iklan rokok turut menayangkan berbagai rasa (rokok, red) itu sendiri,” ujar Hilman saat membuka seminar “Bahaya Rokok dan Terapi Berhenti Merokok yang Efektif,” Sabtu (20/5) di Aula Asrama Mahasiswa University Residence Putra (UNIRES) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dalam seminar sekaligus Bakti Sosial yang diselenggarakan oleh Klinik Pratama Firdaus UMY beserta Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) ini, Hilman kembali memaparkan pengguna rokok saat ini tidak pandang bulu bahkan dari berbagai profesi. “Bahkan profesi dokter pun tak jarang masih ada yang merokok. Saya kira hampir semua perokok menginginkan berhenti, namun prosesnya yang sulit. Berbicara mengenai rokok, perokok itu bukanlah musuh, akan tetapi perokok adalah korban budaya dan kampanye industri,” terangnya.
Berkaitan dengan budaya merokok, Muchlis Lc., MA., Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMY yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut menerangkan bahwa, budaya merokok seringkali ditemui dalam suatu acara lokal masyarakat. Dalam acara itu biasanya tuan rumah menyuguhkan rokok sebagai bentuk rasa hormat kepada tamu. “Budaya merokok yang sering dilakukan seperti dalam tradisi lek lek an atau begadang saat kelahiran bayi di daerah pedesaan. Dalam tradisi ini biasanya tamu dan tuan rumah begadang hingga subuh, selama kurang lebih satu minggu yang dilalui dengan merokok. Asap rokok yang terkumpul di dalam rumah inilah yang kemudian mengakibatkan kematian pada bayi yang baru lahir. Kasus ini sudah terjadi di Gunung Kidul,” jelas Muchlis saat menerangkan bahaya merokok sesuai prespektif Islam.
Muchlis kembali menjelaskan, merokok dalam prespektif Islam telah diharamkan. Melihat para korban yang meninggal akibat dampak buruk merokok. “Zat yang tergantung di dalam rokok ini perlahan akan merusak tubuh perokok. Dampaknya akan dirasakan kedepannya, dan pada awal merokok baru belum ada merasakan dampak. Merokok bukan hanya membahayakan diri sendiri, namun juga berdampak pada keluarga dan sekitarnya,” ujarnya. (hv)