Memahami tentang masa depan politik Islam di Indonesia, berarti juga harus memahami persepsi dari ulama yang ada di Indonesia. Mengingat di Indonesia, mayoritas masyarakatnya beragama Islam, karenanya diperlukannya pencerahan agar masyarakat dapat ‘melihat’ yang kini terjadi di Indonesia dengan baik. Hal itulah yang menjadi benang merah dalam seminar bulanan yang diselenggarakan oleh Program Doktor, Program Studi Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bertempat di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana UMY, pada Selasa (12/2).
Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., PH.D selaku direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan terkait survei yang pernah dilakukan di Indonesia, mengenai isu politik islam. ”Survei tersebut membuat kita terkaget-kaget dengan hasil yang memperlihatkan 67 persen mahasiswa setuju dengan negara Islam. Kemudian pula berdasarkan hasil survei terakhir, mahasiswa di Jogja juga setuju dengan negara Islam. Hal tersebut membuat masyarakat berasumsi, bahwa dengan apa yang terjadi saat ini, dapat membuat Indonesia akan menjadi negara Islam. Maka demikian dengan bermunculannya opini-opni mengenai Indonesia, seperti menggiring publik, bahwa Indonesia ini tengah berada dalam keadaan darurat,” ujarnya.
Kendati demikian, berbicara tentang dinamika politik Islam, dapat ditentukan oleh dua hal yang paling penting, yaitu keragaman komposisi ruang publik keagamaan dan kompleksitas ulama dalam memahami posisi mereka sendiri dalam kehidupan kekinian. ”Berbicara tentang politik Islam saat ini juga tidak bisa lepas dari perkembangan media baru seperti media online, yang lantas memunculkan ulama-ulama baru atau religious entrepreneurs. Fenomena tersebut juga turut menambah tajamnya kompetisi memperebutkan space dalam ruang publik keagamaan,” papar Noorhaidi lagi.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, sebanyak 71,56 persen ulama di Indonesia, menerima negara bangsa dengan tingkat penerimaan yang bervariasi dan konservatif, moderat, inklusif sampai progresif. Dan sebanyak 16,44 persen ulama di Indonesia menolak negara bangsa dengan tingkat penolakan juga bervariasi dari yang ekslusif, radikal, sampai ekstrem. “Penerimaan mayoritas ulama terhadap negara-bangsa disertai penolakan mereka terhadap kekerasan. Faktor yang berkontribusi antara lain adalah keberhasilan pemerintah dan kekuatan masyarakat sipil mengobarkan perang melawan radikalisme dan terorisme,” imbuh Noorhaidi.
Dalam waktu bersamaan, Dr. Muhammad Najib Azca, S.Sos., M.A. selaku Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), juga memberikan penjelasan terkait isu politik Islam yang terjadi di Indonesia. “Historisnya berakar pada masa awal kemerdekaan dan kembali bangkit pada awal 1980an, gerakan Islam radikal melakukan ekspansi ‘jejaring’ pasca pecahnya kekerasan komunal agama di Indonesia timur pasca 1998. Hal itu kemudian memunculkan tiga corak aktivisme Islam, yaitu gerakan jihad, gerakan dakwah, dan gerakan politik. Jadi, gerakan Islam radikal sendiri telah mewarnai demokrasi belia yang tengah bertumbuh di Indonesia,” paparnya
Najib kembali menambahkan, ketika menghadapi ancaman serius dari kelompok-kelompok Islam radikal, mayoritas muslim di Indonesia bersikap pluralis dan moderat. Termasuk dua organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan organisasi yang moderat. “Dari data beberapa tahun terakhir, membuktikan bahwa NU dan Muhammadiyah sering disebut sebagai pendukung partai pluralis, daripada disebut partai Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari data pada tahun 2009 sebanyak 86,25 persen warga NU dan Muhammadiyah mendukung partai pluralis, sedangkan partai Islam 13,75 persen. Di tahun 2014 sebanyak 84,6 persen mendukung partai pluralis dan sebanyak 15,4 % mendukung partai Islam,” tutupnya. (cdl)