Jepang merupakan negara yang rawan bencana, khususnya pada bencana sedimen. Selama empat tahun berturut-turut, terhitung sejak tahun 2011, Jepang telah mengalami berbagai bencana. Hal tersebut yang diungkapkan oleh Prof. Masaharu Fujita, profesor dari Kyoto University, dalam sesi kelas program Disaster Managememt Summer School (DMSS), Rabu (12/08). Bencana selama empat tahun yang ia maksud antara lain ialah bencana angin topan TALAS pada September 2011 di Semenanjung Kii, musim hujan berkepanjangan di Kyushu dan Hiroshima pada 2012 dan 2014, serta Topan Wipha di Pulau Izu-Oshima pada 2013.
“Tingginya curah hujan yang terjadi di Jepang, yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya bencana sedimen di Jepang. Terutama di Semenanjung Kii yang intensitas hujannya sangat tinggi,” terang Prof. Fujita. Ia menambahkan, hal tersebut mengakibatkan banyaknya tanah longsor dan longsornya dam-dam atau tanggul di kota Oto dan desa Totsugawa di Kota Nata, Jepang.
Ketika tingginya curah hujan menyebabkan tanggul-tanggul bocor, maka akan dapat mengakibatkan banjir bah besar dan membahayakan daerah pemukiman penduduk. Terutama jika tanah longsor terjadi di kawasan dataran tinggi, maka akan berimbas membawa banjir pada daerah dengan kawasan yang lebih rendah. Sementara kawasan dataran rendah, umumnya merupakan kawasan permukiman orang-orang Jepang.
Prof. Fujita juga menjelaskan tentang karakteristik bencana sedimen di semenanjung Peninsula dan di Kota Hiroshima. Masing-masing daerah memiliki karakter bencana yang berbeda. “Seperti hujan di semenanjung Kii lebih lama masanya yakni dua hingga tiga hari, sementara di kota Hiroshima hanya beberapa jam. Dengan masing-masing karakter yang berbeda tersebut, peneliti harus mengamati untuk persiapan antisipasi dari bencana di masing-masing daerah,” ujarnya.
Di Jepang sendiri, menurut Prof. Fujita, penanggulangan terhadap bencana skala besar dibagi menjadi dua aspek. Pertama, penanggulangan bencana secara struktural, dan kedua penganggulangan non struktural. Dalam penanggulangan bencana secara struktural, fokusnya pada pembuatan sistem tanggul, seperti Sabo Dam, Check Dam dan Sand Pocket. “Sedangkan untuk penanggulangan non-struktural, fokusnya lebih pada sistem peringatan dini dan evakuasi, pemetaan bahaya, dan pemberian edukasi kepada masyarakat terhadap bencana yang mungkin untuk terjadi di daerah yang mereka tinggali.
Namun, meskipun penanggulangan bencana sudah diantisipasi, masih memungkinkan untuk terjadinya masalah dan resiko dari dua pembagian penaggulangan tersebut. Dari segi non-struktural, masih banyak masyarakat Jepang yang mengikuti perkembangan isu terkait bencana, sehingga dapat mengakibatkan ketidaktahuan maupun terlambat untuk tahu tentang bencana yang saat itu tengan terjadi,” jelasnya.
Namun meskipun demikian, pada intinya dengan melakukan penelitian terhadap karakteristik bencana yang telah terjadi sebelumnya, dapat memberikan gambaran tentang bencana yang akan terjadi lagi dimasa mendatang. “Hal tersebut karena bencana sedimen terjadi secara berkelanjutan dengan lokasi, waktu, dan skala yang simulatn,” ujar Prof. Fujita. Dengan demikian, sebelum terjadinya bencana, masyarakat harus mengetahui waktu yang tepat untuk evakuasi, tempat aman untuk evakuasi dan menyediakan informasi untuk skenario simulasi bencana yang mungkin terjadi . (Deansa)