Produk pertanian hingga kini masih menjadi produk mendasar dan penting bagi keberlangsungan kehidupan. Berbagai macam tanaman yang dihasilkan dari pertanian dapat digunakan pada beragam industri. Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian memang telah mendapatkan yang sepadan dengan berbagai macam produk yang dihasilkannya, melalui mekanisme pasar. Namun dalam hal jasa, petani masih belum mendapat imbalan sepadan.
Hal tersebut disampaikan Dr. Ir. Widodo., M.P., dalam Orasi Ilmiah Tinjauan Multi Dimensi Produk Pertanian, yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Orasi Ilmiah ini yang dihadiri oleh seluruh mahasiswa dan dosen FP UMY ini bertempat di ruang sidang Ar. Fakhruddin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY, Sabtu (2/11). Selain itu, hadir pula perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda) Yogyakarta, Dinas Pertanian Yogyakarta, dan Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKPPP) seprovinsi Yogyakarta.
Dalam orasinya, Widodo menjelaskan bahwa jasa lingkungan dan amenity petani, merupakan barang publik yang bersifat non rival dan non exclusive consumption. Bersifat non rival consumption, berarti konsumen dapat menikmati jasa lingkungan dan amenity tanpa mengurangi ketersediaan kedua jasa tersebut, sehingga konsumen lain juga masih bisa menikmati jasa tersebut. “Sementara bersifat non exclusive consumption, berarti konsumen jasa dapat menggunakannya tanpa harus mengeluarkan uang sebagai pengorbanan,” jelasnya.
Widodo mencontohkan jasa lingkungan dari petani itu dengan ketersediaan beras organik dalam negeri. Petani organic sebenarnya menghasilkan jasa lingkungan yang lebih besar dibandingkan petani non organik. Karena beras organic itu diproduksi secara ramah lingkungan, sosial, dan ekonomi. “Tapi, alokasi anggaran yang diberikan pemerintah pada petani saya rasa masih kurang. Selain itu, petani juga masih diharuskan untuk membayar pajak bumi. Selayaknya, pemerintah bisa membebaskan pajak bumi bagi petani. Karena itulah imbalan jasa yang pantas diberikan pemerintah pada petani, agar proses produksi jasa lingkungan oleh petani tetap menarik dan menguntungkan,” paparnya.
Sementara itu, jasa amenity yang dihasilkan oleh petani merupakan produk semi publik, yang artinya ia bersifat non rival namun produsen dapat mengatur dan membatasi distribusinya. “Pemandangan yang indah dari hamparan lahan pertanian, kehidupan petani dan budaya pedesaan merupakan produk semi publik yang dihasilkan petani. Petani atau kelompok petani, dapat memanfaatkan jasa amenity tersebut sebagai paket pariwisata yang mempunyai nilai jual tinggi,” tuturnya.
Saat ini, menurut dosen FP UMY ini lagi, paket-paket wisata di kawasan pedesaan dan pertanian sudah mulai dikembangkan oleh pegiat wisata. Namun, keterlibatan petani masih sangat kecil, dan manfaat yang bisa dirasakan oleh petani juga kecil. “Karena itu, kegiatan kelompok petani sebaiknya tidak hanya sebagai forum koordinasi dalam proses produksi. Namun juga harus diarahkan dan ditingkatkan pada orientasi bisnis, untuk menggali potensi pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Di sisi lain, Ir. Sarjiyah, MS., mengatakan bahwa yang disampaikan oleh Dr. Widodo pada orasi ilmiah kali itu, merupakan hasil penelitian disertasi doktoralnya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Selain itu, orasi ilmiah yang diagendakan setiap tahun ini menampilkan berbagai macam hasil penelitian yang telah dilakukan oleh dosen FP UMY, yang sudah studi lanjut S3. “Ini wujud apresiasi kami bagi para dosen yang sudah menyelesaikan S3. Dan, semoga apa yang disampaikan pada orasi ilmiah ini juga dapat memberikan manfaat bagi semuanya, baik bagi mahasiswa maupun masyarakat langsung,” ujarnya. (addhuhry)