Berita

Politik Luar Negeri Bebas Aktif Sudah Tidak Relevan

Politik Luar Negeri Bebas Aktif bagi Indonesia di masa sekarang ini, patut dipertanyakan relevansinya . Pasalnya, Politik Luar Negeri Bebas Aktif saat ini serasa tidak relevan dengan keadaan Indonesia saat ini. Saat tahun 1948, Bung Hatta mengarahkan ke politik luar negeri yang pragmatis, bukan yang harus non-blok. Saat ini ada salah persepsi tentang politik luar negeri bebas aktif. Ini menjadi belenggu seolah Politik Luar Negeri Bebas Aktif itu non-blok.

Hal ini yang dikritisi Dr. Philips J. Vermonte, Head of the Department of Politics and International Relations, The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) soal partisipasi Indonesia dalam menentukan Politik Luar Negerinya, terutama dalam hubungannya dengan AS di era Trump. Hal ini disampaikan dalam Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri bertajuk “Pemerintahan Baru Amerika Serikat :Presiden Trump dan Proyeksi Kebijakan Luar Negeri AS”, yang diselenggarakan oleh Prodi HI UMY bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri RI di Ruang Sidang Pascasarjana UMY lt.4, Senin (27/2).

Politik Luar Negeri Bebas Aktif dinilai membatasi tujuan Indonesia akan berkiblat kemana dalam menentukan politik luar negeri. Hal tersebut menyebabkan Indonesia seringkali menjadi late comer dalam sebuah perjanjian atau  kerjasama.“Misalnya sikap Indonesia belum menentukan sikap untuk menandatangani Trans-Pacific Partnership (TPP). Padahal, saya menilai ini kesempatan yang baik untuk mengadakan kerjasama multilateral dengan AS,”imbuhnya.

Philips juga mengamati Trump yang telah kurang lebih sebulan menjabat sebagai Presiden AS, menurutnya, ada dua hal yang menjadi dasar kebijakan Trump untuk pendekatan Politik Luar Negeri mereka. “Yang pertama, Donald Trump menganut Ekonomi Realisme, dimana semua hubungan adalah Zero Sum, adanya kompetisi dan Trump meyakini AS harus menang dalam kompetisi. Dan yang kedua, Trump meyakini bahwa Politik International is about The Great Power Politics. Maksudnya, Politik International adalah milik negara-negara besar, maka Trump akan mendekatkan AS pada negara-negara besar dan mengesampingkan Negara kecil,”jelasnya.

Philips menambahkan pernyataan bahwa AS sebagai Superpower sedang menurun kekuataannya adalah tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya, AS masih menjadi Negara Superpower nomor satu. Philips menjelaskan ada beberapa hal yang menyebabkan pengaruh AS yang “kelihatannya” menurun. “Adanya pergeseran kekuatan Geo-Politik dan Geo Ekonomi ke Asia Timur. Hal ini karena China muncul menjadi Kekuatan Ekonomi baru. Lalu keadaan berbalik sekarang ini, ketika 20 tahun lalu AS gencar-gencarnya menyebarkan globalisasi, namun malah saat ini China yang mengajari mereka globalisasi,”ujarnya.

Sementara Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A yang juga hadir sebagai pembicara memprediksi tujuan utama Politik Luar Negeri Trump. Hal ini menurutnya tidak lepas dari slogan kampanyenya “Make America Great Again”. “Dalam hal politik, Trump mempunyai tujuan untuk mengalahkan terroris dan radikalisme Islam. Bahkan dia menyatakan dengan jelas tidak segan untuk mengerahkan militer untuk menghilangkannya. Sementara tujuan ekonominya, dengan latar belakang businessman tentu saja memperkuat perdagangan Internasional ,”papar mantan rektor UMY.

Dengan sikap kontroversialnya, Trump dinilai memperburuk hubungan yang sudah dibangun oleh Amerika dengan beberapa kawasan di dunia. Namun Prof.Bambang menilai hubungan yang baik justru terjalin antara AS-Rusia. ”Hal ini karena latar belakang Trump sebagai businessman dan berhubungan dengan Ekonomi. Saya rasa hubungan AS-Rusia memasuki babak baru di era Trump,”pungkasnya. (bagas)