Di Indonesia, Preman memiliki sejarah yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat sehari-harinya, bahkan sebelum masa kemerdekaan negara ini. Berasal dari bahasa Belanda, vrijman ( orang bebas) di Indonesia kata tersebut berkonotasi negatif karena kerap digunakan untuk mendefinisikan orang yang melakukan tindak kriminal berkedok keamanan. Namun di masa pasca orde baru preman ternyata juga menjadi sebuah alat politik yang menjadi perantara untuk memenuhi kepentingan sebuah partai. Hal tersebut disampaikan oleh Ian Douglas Wilson dalam acara bedah bukunya yang berjudul “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru”. Acara tersebut dilaksanakan pada hari Selasa (15/1) di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana, Gedung Kasman Singodimedjo, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Peneliti Murdoch University, Australia tersebut menyampaikan bahwa di masa awal pasca orde baru Preman menjadi alat yang efektif untuk mengumpulkan suara di tingkat akar rumput. “Setelah Presiden B.J. Habibie menyerukan digelarnya pemilu multi partai pada tahun 1999, ada banyak partai yang kemudian muncul. Hasilnya terdapat perebutan suara yang sangat kompetitif oleh partai yang ikut pemilu dan rakyat menjadi targetnya,” ungkap Ian.
Untuk menggalang suara, para partai tersebut seringkali menggunakan ‘jasa’ Preman untuk mengerahkan warga agar memilih wakil dari partai tertentu. “Pada masa pemilu tersebut, ada banyak preman yang kemudian direkrut dan masuk ke dalam partai tertentu, bukan untuk menjadi anggota namun sebagai satuan tugas partai. Tugas mereka adalah sebagai sayap keamanan partai yang bergaya paramiliter untuk menggalang suara warga agar memilih wakil partai mereka,” ujar Ian melanjutkan.
Fenomena tersebut kemudian melahirkan masalah sosial lainnya, karena Preman yang menjadi satgas parpol sering melakukan perekrutan yang menargetkan anak muda. “Target perekrutan mereka umumnya adalah anak muda dengan ekonomi yang kurang baik. Oleh para anak muda hal tersebut menjadi sesuatu yang menarik, karena parpol tersebut memberikan akomodasi bagi mereka mulai dari uang saku hingga pelatihan semi militer. Mereka merasa memiliki identitas dan otoritas di sana, dan ini yang kemudian sering dimanfaatkan oleh parpol,” jelasnya.
“Misalnya, anak muda tersebut menjadi memiliki pemahaman bahwa pemilu merupakan perebutan wilayah. Karenanya seringkali pada masa pemilu mereka memasangkan spanduk parpol yang mereka masuki seakan menunjukkan wilayah tersebut dikuasai oleh parpol mereka. Ini bertentangan dengan nilai demokrasi sendiri, mereka jadi main hakim sendiri ketika ada warga dalam wilayah mereka yang berbeda pilihan,” papar Ian.
Preman Saat Ini
Ian menyampaikan saat ini banyak dari Preman pasca orde baru tersebut bertransformasi menjadi sebuah organisasi yang cukup solid. “Banyak dari mereka kemudian menjadi sebuah organisasi yang memiliki badan dengan berbagai wacana, mulai kewilayahan hingga ideologi. Namun jangan salah mereka masih mempertahankan cara-cara premanisme di masa lalu yang mengunakan intimidasi hingga kekerasan. Secara tidak langsung demokrasi menjadi salah satu faktor yang melestasrikan fenomena ini,” ungkap Ian.
Ian menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan Preman bukan hanya sebagai sosok yang mengitimidasi, namun sebuah pola. “Ingin saya tegaskan bahwa Premanisme merupakan sebuah bentuk hubungan sosial ekonomi dan politik. Bagi saya ini merupakan alat analitik bagaimana melihat pola relasi kuasa yang terjadi di Indonesia. Karenanya premanisme bisa terjadi di level manapun, baik akar rumput hinggga elit politik negara,” tutupnya. (raditia)