Berita

Praktisi dan Akademisi Berikan Catatan Penting Bagi Pemilukada 2018 & 2019

Euforia Pemilukada tahun 2018 & 2019 sudah kita rasakan sejak masa kampanye tanggal 15 Februari 2018. Kini giliran KPU dan para pelaksana pemilukada 2018 dan 2019 yang disibukkan dengan berbagai macam persiapan mulai dari penetapan bakal calon hingga persiapan surat suara sampai penetapan kepala daerah terpilih. Berkaitan dengan hal tersebut, praktisi dan akademisi pun memberikan beberapa catatan penting untuk penyelenggaraan Pemilukada tersebut.

Komisioner KPU RI periode 2017-2022 Viryan, S.E., MM memaparkan sebuah catatan kepada mahasiswa untuk memilih pada pemilukada yang akan datang. Bila tidak memilih, maka surat suara akan berkurang. Hal tersebut disampaikan saat acara Seminar Nasional dengan mengusung tema Evaluasi Pilkada Serentak untuk Menyonsong Pemilu Serentak Tahun 2019 pada Sabtu (24/02) lalu.

Viryan menambahkan bahwa bagi masyarakat, terutama mahasiswa yang tidak pulang ke daerahnya untuk mengikuti Pemilu Pilpres 2019, dapat melaksanakan pemilihan di daerah tempat ia bekerja/belajar. “Adapun tahapannya yaitu dengan mendaftarkan diri terlebih dahulu di daerah setempat, yang bisa dilakukan dalam waktu 30 hari sebelum pelaksanaan Pemilu. Dari sana nanti pemilih tambahan akan dibuatkan suara. Dan batas akhir pendaftaran tersebut adalah tanggal 17 Maret 2019,” ungkap Viryan.

Viryan juga menambahkan bahwa yang disebut dengan daftar pemilih tambahan itu, merupakan pemilih yang dalam keadaan tertentu tidak dapat memilih di TPS dimana dia terdaftar. Sedangkan disebut dalam keadaaan tertentu adalah pemilih yang sedang bepergian menjalankan tugas, sakit, menjadi tahanan, atau tertimpa bencana alam sehingga tidak dapat menggunakan hak suaranya di TPS yang bersangkutan.

Pada kesempatan yang sama, Dr. Mada Sukmajati, Akademisi sekaligus dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gajah Mada (UGM), ini mengungkapkan bila yang perlu digarisbawahi saat ini adalah ketimpangan yang tidak sehat dari calon Kepala Daerah yang teralu miskin dan terlalu kaya. “Kami rasakan adanya ketimpangan yang tidak sehat. Banyak calon Kepala Daerah yang miskin dimana data kekayaan yang ada hingga minus. Sementara ada pula calon yang memiliki kekayaan hingga bermilyar rupiah, sungguh sangat tidak sehat, seharusnya ada standar pembiayaan pilkada,” ungkpanya.

Mada menambahkan bahwa saat ini, seharusnya kita melakukan refleksi pilkada dari waktu ke waktu. “Tahun ini sudah saatnya kita merefleksikan diri untuk mengungkapkan pengalaman para praktisi, penyelenggara pemilu dan para pemilih secara mendalam dari penyelenggaraan pemilukada serentak sebelum-sebelumnya. Apa saja isu-isu strategis yang muncul dari setiap pemilukada. Hal tersebut perlu dijajaki lebih lanjut dalam suatu forum diskusi skala nasional atau bahkan kerjasama antar perguruan tinggi dan KPU RI,” tambahnya.

Sementara itu, Bambang Eka Cahya W., Akademisi sekaligus dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melihat catatan evaluasi pemilukada dari tahun sebelumnya. “Kami akui bahwa pada pelaksanaan pemilukada sebelumnya dan dari tahun ketahun kami melihat catatan perbaikan yang signifikan. Namun juga tidak menutup mata untuk memberikan catatan yang lainnya. Perlu kita cermati betul karena memang ada gelaja yg tidak sehat,” ungkapnya.

Bambang mengungkapkan bahwa ia melihat catatan tersebut dari prespektif electrical governance yang ia bagi menjadi tiga aspek yaitu regulasi, implementasi, dan ajudikasi. Dari sisi Regulasi, pilkada masih menyisakan masalah yang tidak mudah diselesaikan, seperti sengketa para calon 2015-2017 bersumber dari regulasi yang tidak jelas dan masih ada lagi masalah lainnya. Kemudian dari aspek Implementasi pilkada pada tahun sebelumnya, menimbulakn sejumlah persoalan yang tidak sederhana dari proses penundaan hingga tidak menjadi serentak. “Penyelenggaraan semakin baik, namun derajat kompetisinya menurun. Sehingga hal ini buruk untuk demokrasi kita. Sedangkan yang ketiga, dari aspek ajudikasi, banyak incumbent yang ditangkap oleh pihak berwenang, lebih spesifik lagi yaitu incumbent yang kembali mencalonkan diri,” ungkapnya.

Bambang mengungkapkan bahwa dimensi penegakan hukum memiliki ruang tersendiri. Bambang juga mengungkapkan hasil penelitiannya tahun 2015, yang menunjukkan bahwa struktur penyelesaian sengketa pemilu yang masih belum efektif, berlarut dan memakan biaya yang tidak sedikit menimbulkan problematika baru. Penanganan di bawaslu pun masih belum sepenuhnya berjalan baik karena faktor SDM. “Kami pikir hal ini yang paling penting dari proses pemilukada, banyaknya sengketa yang belum terselesaikan,” tutupnya. (darel)