Berita

Presentasikan Migrasi Muslim Tionghoa Indonesia, Profesor UMY jadi panelis di Cina

Sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya, proses migrasi Muslim Tionghoa di Indonesia menjadi menarik untuk dikaji mengingat Indonesia

Sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya, proses migrasi Muslim Tionghoa di Indonesia menjadi menarik untuk dikaji mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang di dalamnya juga tersebar masyarakat Tionghoa yang menjadi bagian minoritas dari negeri ini.

Hal tersebut disampaikan Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Tulus Warsito, di Kampus Terpadu UMY, Selasa (11/5). Dengan pemikiran tersebut, Tulus diundang menjadi sebagai panelis oleh Institute of Ethnology and Anthropology dalam An Inter-Conference of Metropolis International -Migration in China and Asia: Experience and Policy yang akan digelar pada bulan ini di Beijing, Cina.

Sebagai panelis, Ia akan membahas isu migrasi terutama terkait “Indonesian Chinese Muslim: Problems and Prospects”. Konferensi tersebut nantinya akan diikuti oleh 70 panelis, 15 diantaranya berasal dari Cina, sedangkan 55 panelis lainnya berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Jepang, Australia, Rumania, Belgia, Rusia, India, Afrika Selatan, Srilangka, dan negara di Asia lainnya.

Tulus mengungkapkan, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak keragaman suku, termasuk salah satunya Muslim Tionghoa. Sayangnya, dengan jumlah sekitar tiga juta orang atau tidak lebih dari 1,5 % dari jumlah populasi Indonesia, masyarakat Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada era tersebut, penggunaan tulisan bahasa Mandarin dalam publikasi dan iklan dilarang, kecuali koran Harian Indonesia saja yang diperbolehkan untuk diterbitkan dalam bahasa Mandarin dan Indonesia meski tetap saja di bawah kontrol dari pemerintah.

“Selain itu, masalah yang dihadapi masyarakat Tionghoa disini pun juga meliputi penutupan sekolah Mandarin, dilarangnya perayaan budaya Tionghoa, serta permintaan pemerintah bagi masyarakat Tionghoa untuk merubah nama mereka menjadi seperti nama Indonesia,” paparnya.

Namun, pada era reformasi, masyarakat Tionghoa telah berhasil mengatasi permasalahan tersebut bahkan Tahun Baru Cina pun dijadikan hari libur nasional secara resmi di negeri ini. “Muslim Tionghoa saat ini bahkan telah mempunyai membentuk Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau PITI yang mempunyai peran penting dalam menjembatani Muslim dengan masyarakat Tionghoa di negeri ini,” papar Tulus.

Proses migrasi Muslim Tionghoa ini jugalah yang dinilai Tulus perlu diinformasikan dan didiskusikan lebih luas lagi melalui konferensi ini sehingga budaya Indonesia yang kaya keragaman akan semakin terlihat level internasional. “Selain itu, semoga konferensi ini bisa menjadi ajang studi banding mengenai Chinese Studies di level internasional,” pungkasnya.