Berita

Program Politik Islam UMY Luluskan Doktor ke 11 dan 12

Program Doktoral Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) kembali menghasilkan lulusan doktor ke 10 dan 11 untuk program studi ini pada hari Sabtu (7/4). Ketetapan lulus tersebut dinyatakan kepada Adji Suradji Muhammad dan Malik Ibrahim seusai menjalani sidang terbuka disertasi masing-masing di Ruang Sidang Pascasarjana Gedung Kasaman Singodimedjo kampus terpadu UMY.

Dalam disertasinya, Adji melakukan pembuktian terhadap efektivitas collaborative governance dalam pengelolaan kawasan perbatasan antar negara di Kepualauan Riau (Kepri).”Untuk wilayah Kepri ada banyak lembaga yang mengurusi perbatasan wilayah, seperti Badan Pengelola Perbatasan di Daerah (BPPD), Badan Keamanan Laut (Bakamla), TNI AL, dan Kepolisian Air dan Udara (Polairud). Banyaknya lembaga yang terlibat dalam urusan perbatasan ini ternyata tidak serta merta menjadikan kawasan ini aman. Hampir setiap hari muncul berbagai persoalan dalam pengelolaan perbatasan, mulai penyelundupan, perompakan, illegal fishing dan mining, serta lain sebagainya. Ini diduga karena pihak-pihak yang terlibat tidak melakukan kerjasama dan kurang berpartisipasi antar satu dan lainnya,” ungkap Adhi.

Adhi menyebutkan kultur kerja ini dapat diperbaiki dengan menerapkan collaborative governance. “Collaborative governance adalah sebuah upaya untuk membuat aturan yang mengatur 2 lembaga atau lebih yang mengelola urusan publik baik secara langsung atau pun tidak. Dalam hasil penelitian yang dilakukan terbukti bahwa lembaga-lembaga ini kurang berkoordinasi dalam urusan pengelolaan. Terutama untuk poin kolaborasi tim yang berisi proses kerjasama antar lembaga. Ini disebabkan karena masing-masing institusi yang telah disebutkan masih berjalan sendiri-sendiri untuk banyak pengelolaan yang bersifat publik. Permasalahan ini dapat diatasi dengan merumuskan sebuah satuan kerja yang dibentuk dari lembaga-lembaga terkait untuk fokus terhadap urusan perbatasan,” jelas Adhi.

Selanjutnya di lain pihak, Malik melakukan studi terhadap dinamika Peradilan Agama (PA) pada era reformasi. “Pada masa reformasi, PA mengalami perubahan dari pembinaan 2 atap yang dikelola oleh lembaga eksekutif dan yudikatif, ini kemudian berubah menjadi 1 atap saja di bawah Mahkamah Agung (MA). Ada beberapa faktor yang melandasi perubahan ini diantaranya adalah motivasi internal PA untuk mencapai independensi, melakukan efisiensi organisasi, hingga aturan ketetapan negara yang mendorong PA untuk berubah,” jelas Malik yang melakukan penelitian terhadap berbagai literatur.

Malik menyebutkan bahwa perubahan ini terbukti berimbas positif terhadap PA. “Penyatuan di bawah administrasi MA ternyata mampu menjadikan PA menjadi lembaga peradilan yang lebih mandiri. Ini menjadikan kedudukannya sudah setara dengan badan peradilan Indonesia lainnya. PA kemudian juga mampu mempertegas dan memperluas kompetensinya pada bidang zakat, infak, shadaqah dan mengembangkan ekonomi syar’iyah. Ini kemudian memberikan PA kewenangan untuk membentuk dasar hukum Mahkamah Syar’iyah,” tutup Malik. (raditia)