Berita

Proses Reformasi masih berjalan setengah-setengah

Proses 12 tahun reformasi dinilai belum menyentuh seluruh aspek pemerintahan, karena masih setengah-setengah dan masih sebatas basa-basi di beberapa aspek. Hal ini dibuktikan adanya fenomena Makelar Kasus (Markus) di beberapa departemen pemerintahan. Selain itu kasus-kasus korupsi juga masih terjadi pada hampir semua level pemerintahan baik pusat maupun daerah serta cabang pemerintahan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Demikian disampaikan Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Tunjung Sulaksono S.IP, M.Si dalam ‘Refleksi 12 tahun Reformasi’ di Kampus Terpadu Kamis (20/5) siang.

Lebih lanjut Tunjung menjelaskan saat ini paradigma reformasi masih dipahami sebatas kelembagaan. Padahal paradigma reformasi juga melibatkan nilai. “Misalnya reformasi birokrasi tidak akan berjalan efektif kecuali para birokrat bersedia menukar paradigma mereka sebagai pangreh praja dengan paradigma sebagai civil servant atau pelayan publik. Demikian juga pola relasi antara pusat dan daerah perlu disempurnakan. Jangan malah kembali ke rezim Orde Baru dengan memunculkan wacana pemilihan Gubernur oleh pusat,”urainya.

Tunjung menuturkan program-program yang dijalankan pemerintah saat ini ada beberapa yang sudah sejalan dengan semangat reformasi namun tidak sedikit yang sama sekali belum memenuhi. “Belum adanya platform masa depan bangsa menjadikan berbagai proses reformasi tersebut seringkali merupakan program yang bersifat reaktif, sehingga tidak sinergis dengan program dan kegiatan lainnya.”tuturnya.

Dosen Ilmu Pemerintahan UMY ini memaparkan, pasca reformasi 1998 harus diakui banyak pembaharuan dan perubahan di Indonesia.  Secara kelembagaan banyak struktur pemerintahan yang mengalami perubahan. Dengan dikenalkannya banyak state auxiliary institution seperti KPU, KPK dan Komnas HAM menunjukkan bahwa ada pengakuan dari pemerintah terhadap kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan.

“Selain itu, implementasi kebijakan desentralisasi yang berimplikasi pada Otonomi Daerah merupakan bukti kelembagan lain tentang perubahan pola relasi antara pusat-daerah. Daerah tidak lagi hanya dianggap sebagai sapi perah yang harus tunduk pada kemauan pusat, akan tetapi daerah diberikan kemandirian untuk mengelola masyarakat dan wilayahnya, termasuk kemandirian dalam hal pendanaan dan sumbder daya alam yang sangat berbeda dengan platform yang lama.”paparnya.

Tunjung menambahkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran, berkumpul, dan hak-hak politik lain sebagaimana amanat konstitusi yang merupakan hak dasar rakyat juga telah mengalami kemajuan yang sangat berarti. “Demikian juga dengan kemerdekaan pers yang dulu hanya ada dalam mimpi, maka setelah reformasi, banyak pengamat yang melihat bahwa kebebasan pers di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia. “tambahnya.

Terkait dengan pelaksanaan reformasi, hal tersebut menjadi sangat penting dilakukan untuk mengembalikan tujuan berbangsa dan bernegara sesuai jalur yang semestinya. “Dalam melakukan pembaharuan atau perubahan, maka mau tidak mau harus ada keberanian untuk mendekonstruksi apa yang selama ini dianggap sebagai suatu kebenaran yang selalu diklaim dan dipropagandakan oleh rezim berkuasa. Selain itu reformasi juga terkait dengan nilai atau value. Sehingga perlu keberanian untuk mendekonstruksi nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru, yang bisa jadi akan berimplikasi pada perubahan semua struktur dan agen yang merepresentasikan nilai lama tersebut.”pungkasnya.