Fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, & Transgender) saat ini menjadi problematika tersendiri di Indonesia. Dari banyaknya kasus yang terekam dalam media, fenomena ini ternyata cukup tersebar di kalangan masyarakat. Bahkan dari data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2012 ada lebih dari satu juta orang dengan perilaku LGBT, dan jumlah ini diperkirakan terus meningkat. Untuk memberikan pengetahuan terhadap polemik ini, HIMIKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu Keperawatan) PSIK FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggelar Talkshow Keperawatan dengan tema “LGBT Dalam Perspektif Islam dan Kesehatan” di Convention Hall Asri Medical Center (AMC) pada hari Minggu (27/5) lalu. Talkshow Keperawatan ini merupakan acara tahunan yang diselenggarakan untuk meningkatkan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang dihadiri oleh seluruh mahasiswa, dosen dan karyawan PSIK FKIK UMY.
Agung Sugiarto pendiri Yayasan Peduli Sahabat selaku pemateri menyebutkan dari sisi kesehatan, perilaku LGBT sangat rentan terhadap penyakit seksual. “Same Sex Attraction (SSA)” apabila dipraktekkan dengan hubungan seksual sesama jenis sangat berpotensi untuk menimbulkan penyakit seksual menular. Hal ini cukup meresahkan masyarakat karena angka kejadian LGBT semakin meningkat. Di samping dari sisi kesehatan ini juga bermasalah terhadap kehidupan sosial dari pelakunya, misal apabila pelakunya dari pasangan suami istri ternyata memiliki SSA dan keluarga tidak tahu harus bagaimana menyikapinya,” ujar Agung yang kerap disapa dengan Sinyo.
Sinyo menyebutkan bahwa mereka yang mengalami disorientasi ini perlu untuk dibina dan didampingi. “Ketika manusia pertama kali diciptakan, mereka diciptakan berpasangan dan berbeda bukan sama. Karenanya SSA bisa diarahkan kembali orientasinya. Permasalahannya adalah ketika komunitas LGBT meminta agar mereka diberi hak dan diakui untuk mengaktualisasikan apa yang mereka percaya di Indonesia, yaitu untuk dapat berhubungan dengan sesama jenis dengan sah. Menurut saya untuk kasus Indonesia hal ini akan sangat sulit mereka wujudkan karena asas Indonesia adalah Pancasila, dan permintaan mereka akan terhalang oleh sila pertama dan kedua,” paparnya.
Dari sisi agama, Islam tegas dalam memberikan ketentuannya terhadap permasalahan ini. “Dalam bahasa Arab ada istilah liwath untuk mendeskripsikan hubungan seksual sesama jenis dan ada sebuah hadist yang menyebutkan hukuman pada pelaku dan objeknya. Namun perlu diingat yang masuk kategori ini adalah mereka yang sudah mempraktekkannya, SSA belum bisa dikategorikan masuk kedalamnya dan mereka perlu dibimbing,” ujar Asep Setiawan, S.Th.I., M.Ud sebagai pemateri kedua.
“Problemnya adalah ketika pelaku LGBT ini kemudian mencoba menjustifikasi dan mempertentangkan apa yang mereka percaya dengan Islam. Mereka menganggap ini adalah fitrah mereka dan merupakan identitas yang mereka miliki, misal dengan menafsirkan ulang makna ayat 80 – 82 surat Al ‘Araf agar sesuai dengan kriteria mereka. Padahal ayat tersebut tegas mendeskripsikan amalan kaum Luth adalah perbuatan keji,” jelas Asep.
Asep menyampaikan bahwa mereka yang terjerat homoseksual adalah individu yang diserang oleh syahwat dan syubhat, sehingga perlu dibimbing kembali ke jalan yang benar sesuai dengan nilai agama. “Syubhat ini muncul dari berbagai argumen pembenaran yang seakan logis padahal bertentangan dengan fitrah yang ada. Misal pendapat bahwa setiap orang lahir dengan kecenderungan untuk menjadi gay dan kemudian lingkungan serta kebebasan individu untuk memilih. Juga argumen bahwa orientasi yang mereka miliki adalah dorongan cinta, ini adalah syahwat yang kita diuji dengannya,” ungkapnya.
Shanti Wardaningsih, M.Kep., Ns., Sp.Kep.J selaku Ketua Program Studi ilmu Keperawatan menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan agar mahasiswa sebagai para calon perawat dapat bersikap lebih arif dan cerdas dalam menghadapi kondisi LGBT ini. “Marilah kita perangi perilakunya bukan manusianya. Pelaku LGBT membutuhkan pandampingan yang komprehensif agar mereka dapat kembali pada fitrohnya,” imbuh Shanti. (raditia)